
David dan Anton memulai pertandingannya. Pertandingan burung dara
yang sudah menjadi tradisi di Petemon. Pukul 15.45 para penanding sudah
berkumpul dan asyik melatih burung dara peliharaan mereka masing-masing.
Tepatnya di Gang Lima. Tempat itu sangat
strategis untuk bertanding, kata mereka. Bondan, Arif, Cak Jeh, dan Bhay
yang membuka tempat itu. Kebiasaan mereka yang hobi bermain di warnet, membuat
mereka terinspirasi untuk menyambi
hobi mereka yang lain, yakni adu burung. Oleh karena itu, Gang Lima tempat
warnet itu berada dijadikan sebagai markas mereka.
Adanya pertandingan burung dara itu, sebenarnya sangat merusuhi
warga. Pasalnya, selalu ketika pertandingan akan dimulai jalan jalan di
sekitaran Gang Lima akan mereka tutup. Itu sangat menyusahkan warga sekali.
Karena banyaknya para aktivis burung yang mengikuti pertandingan. Namun, protes
warga sama sekali tidak dihiraukan oleh para penyabung burung itu. Hingga
akhirnya warga pun mengalah dan membiarkan hal itu terus terjadi dan menjadi
tradisi setiap sore menjelang petang.
Pertandingan burung hari itu berlangsung ricuh. Sebab burung dara
Bhay dan David tidak kembali kembali setelah dilepaskan. Mereka jadi saling
menyalahkan. Kejadian burung dara David yang diterbangkan terlalu ber-samaan
dengan burung dara milik Bhay membuat burung mereka oleng dan terbang ke lain
arah. Teman sekomplot David segera membantu mengejar dan menangkap burung dara
mereka. Begitu pula dengan kelompok Bhay. Setelah selesai bertanding, para
petanding semuanya mengobrol di warung kopi langganan mereka. Kedai Pak Slamet.
Esok harinya sepulang dari sekolah Galang, Sari, Rinto, dan Sania
berjalan melewati depan markas para petanding burung dara. Masih dengan seragam
abu-abu nya, mereka dengan santai ikut bergabung dan mengajak David dkk mengobrol. Tidak banyak yang mereka
tanyakan. Hanya seputar keingintahuan mereka terhadap apa yang telah warga
Petemon dapatkan dengan bertanding burung dara. David akhirnya menjawab dengan
tegas bahwa bertanding burung sudah menjadi hobi turun-temurun yang harus
dilestarikan agar warga terhibur dan melupakan segala keluh kesah dunia.
Belum puas dengan jawaban David, Sania mencoba menanyakan perihal
apa pekerjaan David. David tercengang dan bingung menjawabnya. Karena bahkan
dia sendiri adalah seorang pengangguran yang sedang luntang lantung mencari
pekerjaan. Dan karena ia tertekan, ia pun me-lampiaskan kekesalannya dengan
melakukan hal kesukaannya. Apa yang harus ia katakan pada bocah SMA di depannya
ini?
Sania mengerti kebungkaman David. Akhirnya Sania pun melontarkan
gagasannya pada David dan kawan-kawan bahwa pertandingan burung ini sebenarnya
sangat menganggu warga sekitar dan mengakibatkan kemacetan karena menutup
jalan. Kericuhan yang juga sering terjadi pada saat pertan-dingan adalah salah
satu ketidakmanfaatan dari kegiatan itu. Pernyataan Sania memancing
teman-temannya untuk mengatakan hal yang serupa.
David dan kawan-kawan tidak menggubris ocehan bocah SMA itu. Ia
malah menyuruh bubar para anggota sekomunitas tanding burung itu agar Sania dkk tidak mengoceh lagi. Padahal, tujuan
utama mereka adalah untuk bersenang-senang saat itu, tetapi malah diganggu oleh
anak kecil. Berbeda dengan David, Bondan masih mengingat-ingat kata-kata Sania dkk yang telah membuka hatinya untuk
tidak terus menganggur seperti mayoritas anggota tanding burung yang lain. Ia
masih mempertimbangkan apa yang diucapkan anak-anak itu.
Sementara itu, di sekolah, Sania dkk telah dijuluki sebagai ‘Pasukan Merah Jingga’ dimana mereka telah berani untuk mengetuk pintu hati
para penunggu jingga diufuk timur dengan menyampaikan protes warga yang
kebanyakan mengeluh telah dirugikan oleh kumpulan tanding burung itu. Kata-kata
yang diucapkan Sania memang belum sepenuhnya mengetuk hati semua anggota.
Namun, setidaknya berkurang satu anggota –Bondan– yang sekarang lebih memilih
untuk mencari pekerjaan yang tetap daripada ber-main main tidak jelas setiap
sore tiba.
David dkk yang awalnya
tidak ingin meninggalkan hobi mereka hanya karena ucapan sok bijak dari mulut
para bocah, juga pada akhirnya me-mikirkan dua kali apa yang sebenarnya harus
mereka putuskan. Apakah mereka akan selamanya menjadi pengangguran yang bermain
burung saja? Tanpa ada pengabdian kepada warga sekitar? Bahkan warga
diselingkungan-nya sendiri –Petemon–? Lalu bagaimana dengan masa depan mereka
nanti? Apakah tanpa bekerja seperti apa yang dikatakan Sania itu mereka akan
tetap bisa hidup dan atau menghidupi?
Argumen Sania dkk
akhirnya di dengar dan menjadi motivasi bagi komplotan petanding burung itu.
Mereka tidak lagi menjadi pengangguran. Sudah banyak dari mereka yang
mendapatkan pekerjaan meski dengan upah atau gaji yang minim. Setidaknya mereka
bisa tidak hanya hidup dari menerbangkan burung saja, tetapi juga ikut terbang
bersama burung-burung yang pernah mereka tandingkan.