Masih Pagi? Tidur Lagi Sajalah!
Banyak sekali manusia jaman sekarang, utamanya generasi penerus
bangsa millenial yang masih meremehkan bangun pagi. Padahal, bangun pagi sangat
bermanfaat bagi kesehatan otak juga kesehatan fisik. Hal ini dipicu karena
sifat ‘malas’ yang masih merajalela dalam diri. Seharusnya sifat ini sudah
harus mulai dihilangkan sejak dini. Bayangkan saja bila seorang mahasiswa
karena tidak ada budaya bangun pagi dalam rumah, maka tugas akan keteteran atau tidak selesai.
Dikarenakan kurangnya bisa memanajemen waktu untuk tidur malam maupun tidur
pagi. Sehingga tidak dapat pula membagi waktu kapan untuk mengerjakan tugas dan
kapan untuk istirahat.
Sebenarnya, tidur pada pagi hari pun tidak dianjurkan. Hal ini
menyebabkan dampak yang signifikan dibandingkan dengan orang yang senantiasa
bangun lebih pagi karena sudah terbiasa. Orang yang biasa bangun pagi, semangat
untuk mencari kebaikan menjadi lebih tinggi. Dibandingkan dengan seorang
pemalas yang kerjanya hanya makan, tidur, sekolah, pulang, makan, dan tidur
lagi. Seterusnya sifat yang akan muncul adalah meremehkan. Segala sesuatu
nampak mudah baginya, tetapi belum tentu akan langsung dikerjakan. Mereka para
pemalas akan menunggu bila waktunya tiba, ia baru akan melakukan apa yang
seharusnya dilakukan. Bahkan ada kutipan “seorang pemalas tahu cara tercepat
untuk menyelesai-kan pekerjaannya”.
Untuk menghindari kebiasaan tersebut diatas, seharusnya dari usia
dini keluarga terdekat harus melakukan penindakan secara tegas dalam upaya
mencegah ‘rasa malas’ dalam diri anak-anaknya. Bukan hanya itu saja, perhatian
yang lebih akan apa saja kegiatan yang dilalui anak juga sangat diperlukan.
Anak akan merasa diawasi gerak-geriknya sehingga apa yang menjadi tugasnya akan
diselesaikan cepat dan tepat waktu.
Ada juga sebenarnya tipe anak yang sangat enggan berinteraksi
sosial karena ‘malas’ bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Dalam
konteks ini, yang dimaksud adalah ‘rasa selalu benar’ pada diri sendiri.
Terkadang ada seseorang yang merasa dirinya paling benar sehingga ia merasa
tidak perlu atau tidak membutuhkan orang lain. Muncul lagi sifat baru yakni
‘apatis’. Merasa karena dirinya paling benar sehingga tidak peduli kritik dan
saran.
Satu hal yang perlu kalian ketahui adalah seseorang tidak akan
‘malas’ jika ia mendapatkan motivasi atau provokasi semangat dalam melakukan suatu
hal. Seperti halnya jaman sekarang yang marak dengan kegiatan ‘pacaran’.
Memiliki seorang pacar sebenarnya bukan melulu soal ‘pacaran’ namun dibalik
itu, ada kaitan pendorong semangat bagi anak jaman sekarang. Dengan bergaul
dengan lawan jenis, mereka dapat mencurahkan isi hati mereka tanpa harus
mengerti perasaan dari sang lawan jenis itu sendiri atau lain sebagainya
(karena jelas perasaan laki-laki dengan perempuan sangat berbeda, juga cara
pemikirannya). Perbedaan lawan jenis itulah yang menjembatani mereka untuk
saling bertukar pikiran, bertukar perasaan, sehingga timbul motivasi dalam diri
untuk terus menjadi lebih baik lagi.
Perasaan malas itu sendiri berkaitan dengan cara pemikiran
se-seorang terkait dengan permasalahan yang dihadapi. Ada yang menganggap
masalahnya sebagai beban yang ringan dan biasa-biasa saja. tetapi ada juga yang
menganggap bahwa permasalahan yang sedang dihadapi itu terlalu berat. Dari
sinilah muncul ‘rasa bosan’ dari dalam diri yang menjadikan seseorang tersebut
malas untuk menghadapi serta menyelesaikannya. Lalu apa yang terjadi? Segala
ilmu atau wawasan yang sebenarnya tersirat dari permasalahan tersebut akan
dilalaikan dan ditinggalkan begitu saja tanpa disentuh sama sekali. Disinilah
akan terjadi ‘mubadzir ilmu’.
Padahal seperti yang umum kita ketahui bahwa manusia diciptakan
untuk menuntut ilmu. Ada makna tersirat bahwa kita hidup jika tanpa menimba
ilmu, maka kita juga sama dengan mati. Tidak akan berguna hidup jika pikiran
kita kosong melompong hampa ilmu. Ilmu sangat penting bagi kehidupan. Ibarat
rumah yang berjendela, jika kita malas untuk membuat jendela di rumah kita yang
kita dapat hanyalah kegelapan dan kegelisahan diri saja. Seperti halnya juga
kita ketika tidak ingin ilmu masuk dalam wawasan otak dan pikiran kita. Enggan
menggapai kreativitas yang ada dalam diri kita. Dan juga mengabaikan potensi
diri kita, serta tidak memanfaatkkan tubuh yang telah sempurna diciptakan
oleh-Nya. Maka untuk apa kita hidup?
Sebaliknya, jika kita membuat jendela pada pikiran kita. Maka
secara tidak langsung kita pun akan membuka jalan hidup kita sendiri.
Jendela-jendela pada diri kita semuanya akan terbuka, jendela hati, jendela
otak, jendela ilmu, dan jendela-jendela lain yang membuat kita semakin kreatif
dan berkembang. Tubuh kita pun akan berfungsi sesuai dengan apa yang
diciptakan-Nya. Menjadi pribadi yang baik juga merupakan bentuk rasa syukur
kepada-Nya karena kita tekah mampu menjaga dan memanfaatkan-nya.
Oleh karena itu, menghindari ‘rasa malas’ adalah point utama dari
mencegah ‘rasa-rasa malas’ lainnya yang berujung dengan pasifnya tubuh mencerna
ilmu ataupun mengambil hikmah atas segala suatu permasalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar