Sabtu, 15 September 2018

ESSAY : KEMALASAN


Masih Pagi? Tidur Lagi Sajalah!

Banyak sekali manusia jaman sekarang, utamanya generasi penerus bangsa millenial yang masih meremehkan bangun pagi. Padahal, bangun pagi sangat bermanfaat bagi kesehatan otak juga kesehatan fisik. Hal ini dipicu karena sifat ‘malas’ yang masih merajalela dalam diri. Seharusnya sifat ini sudah harus mulai dihilangkan sejak dini. Bayangkan saja bila seorang mahasiswa karena tidak ada budaya bangun pagi dalam rumah, maka tugas akan keteteran atau tidak selesai. Dikarenakan kurangnya bisa memanajemen waktu untuk tidur malam maupun tidur pagi. Sehingga tidak dapat pula membagi waktu kapan untuk mengerjakan tugas dan kapan untuk istirahat.
Sebenarnya, tidur pada pagi hari pun tidak dianjurkan. Hal ini menyebabkan dampak yang signifikan dibandingkan dengan orang yang senantiasa bangun lebih pagi karena sudah terbiasa. Orang yang biasa bangun pagi, semangat untuk mencari kebaikan menjadi lebih tinggi. Dibandingkan dengan seorang pemalas yang kerjanya hanya makan, tidur, sekolah, pulang, makan, dan tidur lagi. Seterusnya sifat yang akan muncul adalah meremehkan. Segala sesuatu nampak mudah baginya, tetapi belum tentu akan langsung dikerjakan. Mereka para pemalas akan menunggu bila waktunya tiba, ia baru akan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Bahkan ada kutipan “seorang pemalas tahu cara tercepat untuk menyelesai-kan pekerjaannya”.
Untuk menghindari kebiasaan tersebut diatas, seharusnya dari usia dini keluarga terdekat harus melakukan penindakan secara tegas dalam upaya mencegah ‘rasa malas’ dalam diri anak-anaknya. Bukan hanya itu saja, perhatian yang lebih akan apa saja kegiatan yang dilalui anak juga sangat diperlukan. Anak akan merasa diawasi gerak-geriknya sehingga apa yang menjadi tugasnya akan diselesaikan cepat dan tepat waktu.
Ada juga sebenarnya tipe anak yang sangat enggan berinteraksi sosial karena ‘malas’ bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah ‘rasa selalu benar’ pada diri sendiri. Terkadang ada seseorang yang merasa dirinya paling benar sehingga ia merasa tidak perlu atau tidak membutuhkan orang lain. Muncul lagi sifat baru yakni ‘apatis’. Merasa karena dirinya paling benar sehingga tidak peduli kritik dan saran.
Satu hal yang perlu kalian ketahui adalah seseorang tidak akan ‘malas’ jika ia mendapatkan motivasi atau provokasi semangat dalam melakukan suatu hal. Seperti halnya jaman sekarang yang marak dengan kegiatan ‘pacaran’. Memiliki seorang pacar sebenarnya bukan melulu soal ‘pacaran’ namun dibalik itu, ada kaitan pendorong semangat bagi anak jaman sekarang. Dengan bergaul dengan lawan jenis, mereka dapat mencurahkan isi hati mereka tanpa harus mengerti perasaan dari sang lawan jenis itu sendiri atau lain sebagainya (karena jelas perasaan laki-laki dengan perempuan sangat berbeda, juga cara pemikirannya). Perbedaan lawan jenis itulah yang menjembatani mereka untuk saling bertukar pikiran, bertukar perasaan, sehingga timbul motivasi dalam diri untuk terus menjadi lebih baik lagi.
Perasaan malas itu sendiri berkaitan dengan cara pemikiran se-seorang terkait dengan permasalahan yang dihadapi. Ada yang menganggap masalahnya sebagai beban yang ringan dan biasa-biasa saja. tetapi ada juga yang menganggap bahwa permasalahan yang sedang dihadapi itu terlalu berat. Dari sinilah muncul ‘rasa bosan’ dari dalam diri yang menjadikan seseorang tersebut malas untuk menghadapi serta menyelesaikannya. Lalu apa yang terjadi? Segala ilmu atau wawasan yang sebenarnya tersirat dari permasalahan tersebut akan dilalaikan dan ditinggalkan begitu saja tanpa disentuh sama sekali. Disinilah akan terjadi ‘mubadzir ilmu’.
Padahal seperti yang umum kita ketahui bahwa manusia diciptakan untuk menuntut ilmu. Ada makna tersirat bahwa kita hidup jika tanpa menimba ilmu, maka kita juga sama dengan mati. Tidak akan berguna hidup jika pikiran kita kosong melompong hampa ilmu. Ilmu sangat penting bagi kehidupan. Ibarat rumah yang berjendela, jika kita malas untuk membuat jendela di rumah kita yang kita dapat hanyalah kegelapan dan kegelisahan diri saja. Seperti halnya juga kita ketika tidak ingin ilmu masuk dalam wawasan otak dan pikiran kita. Enggan menggapai kreativitas yang ada dalam diri kita. Dan juga mengabaikan potensi diri kita, serta tidak memanfaatkkan tubuh yang telah sempurna diciptakan oleh-Nya. Maka untuk apa kita hidup?
Sebaliknya, jika kita membuat jendela pada pikiran kita. Maka secara tidak langsung kita pun akan membuka jalan hidup kita sendiri. Jendela-jendela pada diri kita semuanya akan terbuka, jendela hati, jendela otak, jendela ilmu, dan jendela-jendela lain yang membuat kita semakin kreatif dan berkembang. Tubuh kita pun akan berfungsi sesuai dengan apa yang diciptakan-Nya. Menjadi pribadi yang baik juga merupakan bentuk rasa syukur kepada-Nya karena kita tekah mampu menjaga dan memanfaatkan-nya.
Oleh karena itu, menghindari ‘rasa malas’ adalah point utama dari mencegah ‘rasa-rasa malas’ lainnya yang berujung dengan pasifnya tubuh mencerna ilmu ataupun mengambil hikmah atas segala suatu permasalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar