
Pak Kusen hanya mampu menghidupi
keluarganya dengan menjual kayu-kayu untuk pedagang mebel di kota. Begitulah
mata pencaharian warga Hutan Karawitan. Alasan mereka menutup diri dari
lingkungan kota adalah karena mereka telah nyaman satu sama lain. Meski Hutan
Karawitan terkenal dengan mitos-mitos keangkerannya, namun sangat berbanding
terbalik dengan kehidupan masyarakatnya yang sangat harmonis, saling
tolong-menolong, dan rukun. Tak pernah ada perbedaan diantara mereka. Di mata
mereka semua sama. Meski hidup serba kekurangan, tetapi mereka saling
melengkapi.
Itulah kekuatan tradisi dan budaya mereka.
Mereka berfikir bahwa kehidupan di kota itu rusak. Dari sudut pandang mereka
(yang hanya mengenal para pedagang mebel di kota), masyarakat di kota hanya
mementingkan dirinya sendiri. Jarang ada yang peduli dengan lingkungannya.
Mereka tidak ingin menjadi apatis seperti itu. Oleh karenanya, mereka sangat
mensyukuri kehidupan mereka saat ini. Meski rumah mereka tak berjendela. Tak
ada lubang untuk melihat dunia luar dan mengambil sisi positif untuk
mengembangkan diri mereka.
Inten yang masih berumur 5 tahun sudah
pintar membantu Pak Kusen mencari kayu kayu untuk dijual. Ning Tiang merawat
anak-anaknya tanpa pilih kasih. Semua disayanginya dengan sepenuh jiwa dan
raga. Terutama Inten sebagai anak tertua yang sebenarnya orang tuanya tidak
tega menyuruhnya mencari kayu. Hanya saja kehidupan berkata seperti itu. Dan
syukurnya Inten tumbuh menjadi wanita yang baik budi luhurnya, sehingga tidak
buruk baginya bila hanya membantu orang tuanya untuk mencari kayu.
Suatu hari, Pak Kusen dan Inten memulai
aktivitas seperti biasanya. Mencari kayu untuk dijual. Namun, ditengah
perjalanan mereka dihadang oleh seorang perampok yang tak lain adalah Badrun.
Penduduk kota yang buruk perilakunya, ia hanya memikirkan kesenangan dunia.
Sehingga ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, uang, dan uang.
Hari ini ia hendak merampok salah satu warga penghuni Hutan Karawitan. Dan
bertemulah ia dengan Pak Kusen serta putrinya. Mereka belum saling mengenal.
Pak Kusen berusaha untuk tidak melawan
Badrun, tetapi Badrun masih tetap saja menodongkan pisaunya ke arah Pak Kusen
sebagai isyarat pengancaman. Pak Kusen tetap tenang dan menyuruh putrinya
menjauh. Inten yang sangat ketakutan segera lari menjauh dan berteriak minta
tolong kepada para warga penghuni hutan. Sementara itu, Pak Kusen berusaha
membela diri dengan tetap terus mengingatkan bahwa apa yang dilakukan Badrun
itu salah.
Badrun yang keukeuh dengan jiwa
keperampokan-nya tidak peduli dengan siraman rohani dari Pak Kusen. Dia
mengambil seluruh barang-barang Pak Kusen. Tetapi karena Pak Kusen sangat
pandai berkelit sehingga Badrun kesulitan untuk menciderai Pak Kusen, maka akhirnya
Badrun pun berfikir untuk mencelakai Pak Kusen hanya dengan tangan kosong saja.
Pisau dilempar menjauh olehnya dan ia siap bertarung dengan Pak Kusen untuk
bisa mendapatkan barang-barangnya.
Selang beberapa detik kemudian, para warga
sudah berada di TKP dan menemukan Pak Kusen sedang dalam masalah. Mereka pun
segera mengambil posisi mengepung sang perampok dan menangkapnya. Badrun pun
tertangkap basah oleh massa. Ia digebuki
habis-habisan hingga akhirnya ia menyerah dan mengakui bahwa perbuatannya itu
salah dan merugikan orang banyak.
Setelah diringkus, Badrun akhirnya menjadi
bagian dari keluarga Karawitan dan sering berbaur dengan mereka. Sikap warga
hutan yang terbuka dan sangat menjunjung kebersamaan membuat Badrun berubah
sedikit demi sedikit.
Badrun juga diangkat sebagai anak oleh Pak
Kusen. Ia memang tidak tinggal di rumah Pak Kusen, hanya saja setelah kejadian
perampokan itu ia menjadi lebih akrab sehingga hampir setiap hari ia berkunjung
ke rumah Pak Kusen sekedar untuk membantu sedikit. Ia masih tetap tinggal di
rumahnya di kota. Sebab ia masih belum bisa meninggalkan orang tua kandungnya
di kota.
Lima tahun kemudian, terdengar kabar orang
tua Badrun meninggal dunia karena kecelakaan pesawat. Badrun pun memilih untuk tinggal
bersama keluarga Pak Kusen yang sudah dia anggap sebagai orang tua ke-2 nya dan
menjual rumah beserta barang berharganya untuk mencukupi kebutuhan Pak Kusen
nanti. Ia diterima dengan sangat baik disana. Pak Kusen dan Ning Tiang juga
sangat menyayangi Badrun sebagai anak kandung mereka sendiri. Terlebih lagi di
usia mereka yang menuju senja, mereka sangat membutuhkan Badrun sebagai tulang
punggung keluarga. Karena Inten juga masih sangat belia dan belum bisa untuk
diajarkan berjualan.
Badrun dengan senang hati membantu mereka,
ia juga sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengabdi pada keluarga Pak
Kusen dan menjadi anak paling berbakti. Ia pikir dengan ia berbuat baik pada
mereka dapat mengobati rasa penyesalannya yang selalu membantah orang tua
kandungnya terdahulu. Badrun ingin menebus semua dosa-dosa anak durhaka itu
dengan mengabdi pada orang tua barunya. Dulu ia sangat sering menentang
permintaan ayahnya yang menginginkan ia untuk bersekolah dan melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi. Namun sekarang, ia menjadi sangat menyesal.
Sudah 3 hari Badrun tinggal di gubuk milik
Pak Kusen bersama kelima keluarga kecilnya. Ia merasa bahwa struktur rumah
tersebut sangat berbeda, seperti ada yang kurang. Tetapi ia baru menyadarinya
setelah hari ke-5 ia menghuni rumah itu. Rumah Pak Kusen tak berjendela. Cahaya
yang masuk remang-remang saja. Jika malam hari pun hanya diterangi lampu
minyak. Masih sesederhana inikah? Batinnya. Badrun pun menyarankan Pak Kusen
untuk membuat sedikit lubang sebagai tempat masuknya sinar matahari.
Awalnya Pak Kusen tidak menyetujui karena
rumah itu sudah dibangun lama dan mereka sudah nyaman dengan keadaan seperti
itu. Tetapi karena usaha Badrun membujuk rayu, akhirnya Pak Kusen melakukan apa
yang disarankan Badrun. Jendela sudah jadi. Pak Badrun merasa seperti ada yang
berbeda. Ia merasa lebih nyaman dan lebih tentram. Seperti ada hawa-hawa
kebaikan yang mulai masuk menerangi gubuknya yang semakin reot.
Pak Badrun tidak menyangka. Ternyata selama
ini, jendela pada rumah sangatlah diperlukan. Ketika kita membuka jendela kita,
maka wawasan kita akan bertambah. Kegelapan dan kegelisahan yang ada di pikiran
kita lambat laun akan menyusut oleh sinar terang dan hangat dari jendela ilmu
kita. Sebagaimana rumah tanpa pondasi, begitu pula jika rumah tak berjendela.
Pada akhirnya, Pak Kusen pun menyuruh warga
hutan semuanya untuk membuat jendela pada rumahnya. Setiap rumah menjadi lebih
indah dan lebih berwarna karena banyaknya jendela yang mereka buka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar