Sabtu, 15 September 2018

DONGENG : ASAL USUL JENDELA

Hasil gambar untuk jendela animasi

Alkisah hiduplah sebuah keluarga di sebuah Hutan Karawitan yang terkenal dengan keangkerannya. Keluarga tersebut hidup hanya berdampingan dengan 4-5 rumah saja (yang seluruhnya terbuat dari anyaman bambu atau gedheg). Keluarga Pak Kusen (yang terdiri dari Ning Tiang –istrinya- serta ke 3 anak-anaknya Inten -5 tahun-, Jumini -3 tahun-, dan Bogel -1 tahun-) hidup serba kekurangan. Begitupun tetangga-tetangga yang lain. Para warga yang menghuni Hutan Karawitan semuanya enggan untuk pergi ke kota dan merubah hidup. Seperti telah terbiasa dengan keadaan yang ada.
Pak Kusen hanya mampu menghidupi keluarganya dengan menjual kayu-kayu untuk pedagang mebel di kota. Begitulah mata pencaharian warga Hutan Karawitan. Alasan mereka menutup diri dari lingkungan kota adalah karena mereka telah nyaman satu sama lain. Meski Hutan Karawitan terkenal dengan mitos-mitos keangkerannya, namun sangat berbanding terbalik dengan kehidupan masyarakatnya yang sangat harmonis, saling tolong-menolong, dan rukun. Tak pernah ada perbedaan diantara mereka. Di mata mereka semua sama. Meski hidup serba kekurangan, tetapi mereka saling melengkapi.
Itulah kekuatan tradisi dan budaya mereka. Mereka berfikir bahwa kehidupan di kota itu rusak. Dari sudut pandang mereka (yang hanya mengenal para pedagang mebel di kota), masyarakat di kota hanya mementingkan dirinya sendiri. Jarang ada yang peduli dengan lingkungannya. Mereka tidak ingin menjadi apatis seperti itu. Oleh karenanya, mereka sangat mensyukuri kehidupan mereka saat ini. Meski rumah mereka tak berjendela. Tak ada lubang untuk melihat dunia luar dan mengambil sisi positif untuk mengembangkan diri mereka.
Inten yang masih berumur 5 tahun sudah pintar membantu Pak Kusen mencari kayu kayu untuk dijual. Ning Tiang merawat anak-anaknya tanpa pilih kasih. Semua disayanginya dengan sepenuh jiwa dan raga. Terutama Inten sebagai anak tertua yang sebenarnya orang tuanya tidak tega menyuruhnya mencari kayu. Hanya saja kehidupan berkata seperti itu. Dan syukurnya Inten tumbuh menjadi wanita yang baik budi luhurnya, sehingga tidak buruk baginya bila hanya membantu orang tuanya untuk mencari kayu.
Suatu hari, Pak Kusen dan Inten memulai aktivitas seperti biasanya. Mencari kayu untuk dijual. Namun, ditengah perjalanan mereka dihadang oleh seorang perampok yang tak lain adalah Badrun. Penduduk kota yang buruk perilakunya, ia hanya memikirkan kesenangan dunia. Sehingga ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, uang, dan uang. Hari ini ia hendak merampok salah satu warga penghuni Hutan Karawitan. Dan bertemulah ia dengan Pak Kusen serta putrinya. Mereka belum saling mengenal.
Pak Kusen berusaha untuk tidak melawan Badrun, tetapi Badrun masih tetap saja menodongkan pisaunya ke arah Pak Kusen sebagai isyarat pengancaman. Pak Kusen tetap tenang dan menyuruh putrinya menjauh. Inten yang sangat ketakutan segera lari menjauh dan berteriak minta tolong kepada para warga penghuni hutan. Sementara itu, Pak Kusen berusaha membela diri dengan tetap terus mengingatkan bahwa apa yang dilakukan Badrun itu salah.
Badrun yang keukeuh dengan jiwa keperampokan-nya tidak peduli dengan siraman rohani dari Pak Kusen. Dia mengambil seluruh barang-barang Pak Kusen. Tetapi karena Pak Kusen sangat pandai berkelit sehingga Badrun kesulitan untuk menciderai Pak Kusen, maka akhirnya Badrun pun berfikir untuk mencelakai Pak Kusen hanya dengan tangan kosong saja. Pisau dilempar menjauh olehnya dan ia siap bertarung dengan Pak Kusen untuk bisa mendapatkan barang-barangnya.
Selang beberapa detik kemudian, para warga sudah berada di TKP dan menemukan Pak Kusen sedang dalam masalah. Mereka pun segera mengambil posisi mengepung sang perampok dan menangkapnya. Badrun pun tertangkap basah oleh massa. Ia digebuki habis-habisan hingga akhirnya ia menyerah dan mengakui bahwa perbuatannya itu salah dan merugikan orang banyak.
Setelah diringkus, Badrun akhirnya menjadi bagian dari keluarga Karawitan dan sering berbaur dengan mereka. Sikap warga hutan yang terbuka dan sangat menjunjung kebersamaan membuat Badrun berubah sedikit demi sedikit.
Badrun juga diangkat sebagai anak oleh Pak Kusen. Ia memang tidak tinggal di rumah Pak Kusen, hanya saja setelah kejadian perampokan itu ia menjadi lebih akrab sehingga hampir setiap hari ia berkunjung ke rumah Pak Kusen sekedar untuk membantu sedikit. Ia masih tetap tinggal di rumahnya di kota. Sebab ia masih belum bisa meninggalkan orang tua kandungnya di kota.
Lima tahun kemudian, terdengar kabar orang tua Badrun meninggal dunia karena kecelakaan pesawat. Badrun pun memilih untuk tinggal bersama keluarga Pak Kusen yang sudah dia anggap sebagai orang tua ke-2 nya dan menjual rumah beserta barang berharganya untuk mencukupi kebutuhan Pak Kusen nanti. Ia diterima dengan sangat baik disana. Pak Kusen dan Ning Tiang juga sangat menyayangi Badrun sebagai anak kandung mereka sendiri. Terlebih lagi di usia mereka yang menuju senja, mereka sangat membutuhkan Badrun sebagai tulang punggung keluarga. Karena Inten juga masih sangat belia dan belum bisa untuk diajarkan berjualan.
Badrun dengan senang hati membantu mereka, ia juga sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengabdi pada keluarga Pak Kusen dan menjadi anak paling berbakti. Ia pikir dengan ia berbuat baik pada mereka dapat mengobati rasa penyesalannya yang selalu membantah orang tua kandungnya terdahulu. Badrun ingin menebus semua dosa-dosa anak durhaka itu dengan mengabdi pada orang tua barunya. Dulu ia sangat sering menentang permintaan ayahnya yang menginginkan ia untuk bersekolah dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Namun sekarang, ia menjadi sangat menyesal.
Sudah 3 hari Badrun tinggal di gubuk milik Pak Kusen bersama kelima keluarga kecilnya. Ia merasa bahwa struktur rumah tersebut sangat berbeda, seperti ada yang kurang. Tetapi ia baru menyadarinya setelah hari ke-5 ia menghuni rumah itu. Rumah Pak Kusen tak berjendela. Cahaya yang masuk remang-remang saja. Jika malam hari pun hanya diterangi lampu minyak. Masih sesederhana inikah? Batinnya. Badrun pun menyarankan Pak Kusen untuk membuat sedikit lubang sebagai tempat masuknya sinar matahari.
Awalnya Pak Kusen tidak menyetujui karena rumah itu sudah dibangun lama dan mereka sudah nyaman dengan keadaan seperti itu. Tetapi karena usaha Badrun membujuk rayu, akhirnya Pak Kusen melakukan apa yang disarankan Badrun. Jendela sudah jadi. Pak Badrun merasa seperti ada yang berbeda. Ia merasa lebih nyaman dan lebih tentram. Seperti ada hawa-hawa kebaikan yang mulai masuk menerangi gubuknya yang semakin reot.
Pak Badrun tidak menyangka. Ternyata selama ini, jendela pada rumah sangatlah diperlukan. Ketika kita membuka jendela kita, maka wawasan kita akan bertambah. Kegelapan dan kegelisahan yang ada di pikiran kita lambat laun akan menyusut oleh sinar terang dan hangat dari jendela ilmu kita. Sebagaimana rumah tanpa pondasi, begitu pula jika rumah tak berjendela.
Pada akhirnya, Pak Kusen pun menyuruh warga hutan semuanya untuk membuat jendela pada rumahnya. Setiap rumah menjadi lebih indah dan lebih berwarna karena banyaknya jendela yang mereka buka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar