Sabtu, 15 September 2018

CERPEN : PASUKAN MERAH PUTIH JINGGA

Gambar terkait

David dan Anton memulai pertandingannya. Pertandingan burung dara yang sudah menjadi tradisi di Petemon. Pukul 15.45 para penanding sudah berkumpul dan asyik melatih burung dara peliharaan mereka masing-masing. Tepatnya di Gang Lima. Tempat itu sangat strategis untuk bertanding, kata mereka. Bondan, Arif, Cak Jeh, dan Bhay yang membuka tempat itu. Kebiasaan mereka yang hobi bermain di warnet, membuat mereka terinspirasi untuk menyambi hobi mereka yang lain, yakni adu burung. Oleh karena itu, Gang Lima tempat warnet itu berada dijadikan sebagai markas mereka.
Adanya pertandingan burung dara itu, sebenarnya sangat merusuhi warga. Pasalnya, selalu ketika pertandingan akan dimulai jalan jalan di sekitaran Gang Lima akan mereka tutup. Itu sangat menyusahkan warga sekali. Karena banyaknya para aktivis burung yang mengikuti pertandingan. Namun, protes warga sama sekali tidak dihiraukan oleh para penyabung burung itu. Hingga akhirnya warga pun mengalah dan membiarkan hal itu terus terjadi dan menjadi tradisi setiap sore menjelang petang.
Pertandingan burung hari itu berlangsung ricuh. Sebab burung dara Bhay dan David tidak kembali kembali setelah dilepaskan. Mereka jadi saling menyalahkan. Kejadian burung dara David yang diterbangkan terlalu ber-samaan dengan burung dara milik Bhay membuat burung mereka oleng dan terbang ke lain arah. Teman sekomplot David segera membantu mengejar dan menangkap burung dara mereka. Begitu pula dengan kelompok Bhay. Setelah selesai bertanding, para petanding semuanya mengobrol di warung kopi langganan mereka. Kedai Pak Slamet.
Esok harinya sepulang dari sekolah Galang, Sari, Rinto, dan Sania berjalan melewati depan markas para petanding burung dara. Masih dengan seragam abu-abu nya, mereka dengan santai ikut bergabung dan mengajak David dkk mengobrol. Tidak banyak yang mereka tanyakan. Hanya seputar keingintahuan mereka terhadap apa yang telah warga Petemon dapatkan dengan bertanding burung dara. David akhirnya menjawab dengan tegas bahwa bertanding burung sudah menjadi hobi turun-temurun yang harus dilestarikan agar warga terhibur dan melupakan segala keluh kesah dunia.
Belum puas dengan jawaban David, Sania mencoba menanyakan perihal apa pekerjaan David. David tercengang dan bingung menjawabnya. Karena bahkan dia sendiri adalah seorang pengangguran yang sedang luntang lantung mencari pekerjaan. Dan karena ia tertekan, ia pun me-lampiaskan kekesalannya dengan melakukan hal kesukaannya. Apa yang harus ia katakan pada bocah SMA di depannya ini?
Sania mengerti kebungkaman David. Akhirnya Sania pun melontarkan gagasannya pada David dan kawan-kawan bahwa pertandingan burung ini sebenarnya sangat menganggu warga sekitar dan mengakibatkan kemacetan karena menutup jalan. Kericuhan yang juga sering terjadi pada saat pertan-dingan adalah salah satu ketidakmanfaatan dari kegiatan itu. Pernyataan Sania memancing teman-temannya untuk mengatakan hal yang serupa.
David dan kawan-kawan tidak menggubris ocehan bocah SMA itu. Ia malah menyuruh bubar para anggota sekomunitas tanding burung itu agar Sania dkk tidak mengoceh lagi. Padahal, tujuan utama mereka adalah untuk bersenang-senang saat itu, tetapi malah diganggu oleh anak kecil. Berbeda dengan David, Bondan masih mengingat-ingat kata-kata Sania dkk yang telah membuka hatinya untuk tidak terus menganggur seperti mayoritas anggota tanding burung yang lain. Ia masih mempertimbangkan apa yang diucapkan anak-anak itu.
Sementara itu, di sekolah, Sania dkk telah dijuluki sebagai ‘Pasukan Merah Jingga’ dimana  mereka telah berani untuk mengetuk pintu hati para penunggu jingga diufuk timur dengan menyampaikan protes warga yang kebanyakan mengeluh telah dirugikan oleh kumpulan tanding burung itu. Kata-kata yang diucapkan Sania memang belum sepenuhnya mengetuk hati semua anggota. Namun, setidaknya berkurang satu anggota –Bondan– yang sekarang lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang tetap daripada ber-main main tidak jelas setiap sore tiba.
David dkk yang awalnya tidak ingin meninggalkan hobi mereka hanya karena ucapan sok bijak dari mulut para bocah, juga pada akhirnya me-mikirkan dua kali apa yang sebenarnya harus mereka putuskan. Apakah mereka akan selamanya menjadi pengangguran yang bermain burung saja? Tanpa ada pengabdian kepada warga sekitar? Bahkan warga diselingkungan-nya sendiri –Petemon–? Lalu bagaimana dengan masa depan mereka nanti? Apakah tanpa bekerja seperti apa yang dikatakan Sania itu mereka akan tetap bisa hidup dan atau menghidupi?
Argumen Sania dkk akhirnya di dengar dan menjadi motivasi bagi komplotan petanding burung itu. Mereka tidak lagi menjadi pengangguran. Sudah banyak dari mereka yang mendapatkan pekerjaan meski dengan upah atau gaji yang minim. Setidaknya mereka bisa tidak hanya hidup dari menerbangkan burung saja, tetapi juga ikut terbang bersama burung-burung yang pernah mereka tandingkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar