Minggu, 04 September 2022

CERPEN : WARKOP MANG JUSTIN

Semua usaha pasti akan membuahkan hasil, tetapi tidak dengan Mang Justin. Nasib buruk selalu menghampirinya menjadi momok yang tidak bisa lepas dari genggaman tangannya. Ia terlalu baik, jujur, dan polos. Orang baik akan selalu diuji bukan? Begitupun dengan Mang Justin, ujian demi ujian dia lalui dengan hati yang ikhlas dan tabah. Bukan seperti diriku, yang setiap hari kerjanya hanya berburuk sangka saja.

***

Seperti biasa, aku dan kawanku Danny melihat warung kopi itu kosong lagi. Mang Justin bukannya malas, ia sendiri sudah bersiap melayani dan meja-bangku kayu berwarna hitam itu pun sudah tertata rapi, hanya saja, tetap jarang ada orang yang mau mampir kesana sekadar hanya menyapa dan meneguk kopi buatannya. Semua orang di Kampung Gelang ini agaknya tidak ingin membantu keuangan Mang Justin. Hanya aku dan Danny yang setia menjadi pelanggan warung kopinya itu. Sungguh malang nasibmu, Mang.

“Kau tengok itu Wan, kalau nanti dia bangkrut karena sepi pembeli, kita mau cari warkop murah dimana lagi? Semua warkop disini bentuknya seperti café, dan harganya juga selangit. Kita kan udah lama kenal Mang Justin, apa kita tidak bisa membantunya Wan?” ucap Danny.

“Kalau kita sendiri saja masih bergantung pada harga-harga murah, cuma satu ideku untuk Mang Justin.” Jawabku tidak tertarik.

“Apa apa apa? Cepat beri tau, Kau bantu lah dia itu. Aku akan dukung kau Wan” Danny semakin bersemangat.

“PE - SU - GI – HAN!” ujarku dengan sedikit penekanan di tiap suku katanya. Danny hanya menarik nafas panjang, tidak menanggapi ideku (yang sebenarnya hanya lelucon). Dia tau sendiri, jika aku sudah menjawab ngelantur, itu artinya aku memang tidak berminat untuk membantu. Sial sekali dia mendapat kawan yang buruk hati sepertiku, katanya.

“Lagipula, kalau kita sendiri masih miskin, kenapa kita harus mikirin ekonomi orang sih? Kau sendiri, apa mau memecahkan tabungan untuk membantu Mang Justin?” tanyaku balik. Danny menggaruk kepala, sambil cengengesan dia kemudian menjawab, “Ya tentu tidak dong. hehehe”

Aku tau, dia saja tidak memiliki tabungan, lalu dia akan memecahkan tabungan siapa? Aku dan Danny adalah pengangguran. Bukannya tidak mencari kerja, tetapi menghabiskan uang dari orang tua kita yang seorang petani adalah hobi kita. Kita lebih suka meminta-minta daripada mengasihi. Apalagi, mencari pekerjaan disini sangatlah susah. Bikin pusing kepala saja. Maka dari itulah, kita tidak ingin Warkop Mang Justin bangkrut karena kopi disini harganya sangat murah, jadi meminta lima ribu per hari pada orang tua bukanlah hal yang memalukan bagi kita.

Mang Justin melihat ke arah kami dan menyambut seperti biasa dengan senyumnya merekah. “Kopi lagi kang?” katanya. Aku dan Danny mengangguk.

“Dua ya mang, kayak biasa. Satunya gausah pake gula, satu lagi banyakin gulanya biar cepet diabetes” kataku sambil melirik Danny. Yang dilirik hanya cengengesan. Danny memang suka dengan yang manis-manis, berbeda dengan ku yang lebih suka menikmati kopi pahit.

Dia pernah sesekali berteori, “Kita ini berbeda sekali ya selera kopinya, berbeda pula karakteristiknya. Coba lihat, kebiasaan mu minum kopi pahit membuat mu menjadi si pahit lidah. Semua yang keluar dari mulutmu selalu olokan dan ejekan, walau sebenarnya aku tahu kau memang suka bercanda, tapi yang kau katakan itu sebuah kenyataan. Kenyataan yang pahit. Sedangkan aku, lihat. Aku tumbuh menjadi pemuda yang manis bukan? Semua wanita mengejarku dan luluh dengan perkataan manisku, itu karena aku terbiasa minum yang manis-manis. Ubahlah kopimu jadi manis sekali saja Wan. Kau pasti dirundung banyak wanita hahaha

Entah darimana pemikiran seperti itu didapat dari otaknya, sungguh tak masuk akal. Dasar bodoh, pikirku. Tapi aku tidak pernah menganggapnya serius. Beginilah persahabatan kami, walaupun kita memiliki watak yang sangat berbeda tetapi kita selalu bisa mengatasinya dengan satu cara, yaitu bercanda.

Aku memandang Mang Justin, berfikir apakah mang justin tidak rugi bila terus seperti ini. Danny menepuk pundakku, “Apa yang kau fikirkan Wan, tadi kusuruh kau berfikir disana jawabmu malah asal-asalan. Sekarang disini kau malah melamun sendiri. Apa hatimu tergerak untuk membantu  Mang Justin?” dia menaikkan satu alisnya dan tersenyum.

Aku menatapnya bingung, kemudian berkata “Jujur, aku tidak mengerti hatiku sendiri Dan, di satu sisi aku sedih melihat warung ini selalu sepi pengunjung, tiap hari kita disini yang kulihat paling banyak 5 orang yang duduk disini, itu pun mereka bukan warga kampung sini. Tapi di sisi yang lain, aku ini pengangguran, aku bisa apa untuk membantu Mang Justin dan warungnya ini? Ketika mengingat itu, aku jadi apatis lagi”

“Dengarkan kata hatimu Wan, yang kau bilang ‘sedih’ itu hatimu, yang kau bilang ‘apatis’ itu egomu” ucap Danny sok bijak.

Aku hanya menggelengkan kepala. “Kalau itu jelas aku tahu. Sudah kau jangan sok bijak. Kau sendiri bagaimana? Mana dirimu ‘pemuda yang manis’ itu? Sudah hilang? Sudah mulai minum kopi pahit sepertiku ya?” sindirku. Dia hanya cengengesan. “Apa kau pikir ini semua tugasku? Kau juga langganannya disini, jadi lebih baik bantu cari solusi saja, jangan kebanyakan cincong!” lanjutku, si Danny langsung bungkam.

Kopi sudah siap di meja, asapnya masih mengepul. Mang Justin memilih bergabung mengobrol dengan kita karena tidak ada lagi pekerjaan yang dia lakukan, sepersekian detik Mang Justin berubah menjadi pengangguran seperti kita. Ah, waktu memang berkuasa mengubah segalanya. Waktu juga lah yang menggiring kita selalu bahagia bila berkumpul, semua masalah seakan lenyap begitu saja saat kami bertiga mengobrol. Aku pun melupakan kepedulianku pada masalah ekonomi Mang Justin. Lagipula siapa aku? Presiden?

***

Pagi ini aku berangkat ke Warkop Mang Justin sendirian, Danny sedang ingin berkunjung ke rumah pacarnya dan berkencan seharian. Tidak apa-apa, lagipula lelaki seperti Danny memang harus sering-sering bertemu pacarnya agar tidak keliaran menggoda wanita lain. Dasar playboy cap badak. Sampai di warung, aku tertegun melihat Mang Justin malah menutup warungnya, bukannya membuka dan menata jualannya.

“Masih pagi udah tutup aja, Mang? Kenapa?” tanyaku. Mang Justin kemudian bercerita bahwa tadi pagi dia sempat ingin membuka warung, tapi seorang wanita memanggilnya dan memberikan dia pekerjaan baru. Mang Justin diminta untuk menjaga café miliknya, entah keajaiban datang darimana. Tapi tiba-tiba saja mang justin sudah mendapatkan pekerjaan baru yang lebih layak dengan gaji yang jauh melebihi penghasilan bisnisnya warung kopi ini. Aku dan Danny saja yang masih muda sulit sekali mendapat pekerjaan.

“Keberuntungan tidak datang dua kali mang. Keputusan Mang Justin tepat sekali dengan menutup warung dan memilih untuk bekerja disana. Semoga cepat kaya ya, Mang” aku menepuk pundaknya.

“Iya Kang Iwan, semoga saja kali ini saya tidak apes lagi” harap Mang Justin.

***

Sudah 3 bulan sejak Warkop Mang Justin tutup. Sekarang, aku dan Danny juga sudah dapat pekerjaan. Di kantor jasa servis mesin pendingin (ac, kulkas, & showcase), aku dan Danny mencoba peruntungan menjadi teknisi AC. Kami berdua lulusan SMK Jurusan Teknik, jadi beruntung sekali mendapat pekerjaan yang sesuai dengan keahlian. Walau masih bekerja 1 bulan, kami berharap tidak mendapat nasib buruk hingga dipecat. Berkat Mang Justin, kami mendapat hidayah untuk semangat mencari pekerjaan. Dan bila bekerja, kami diingatkan agar melakukannya dengan sukacita. Jangan lagi bermalas-malasan dan berlaku apatis, kalian masih muda, harus punya semangat untuk berjuang, ucap Mang Justin saat ia berpamitan pada kami karena akan pindah ke desa sebelah demi pekerjaan barunya.

Apa kabar kau Mang Justin? Apa kau sudah kaya? Aku jadi rindu bila ingat dia.

Sepulang kerja, aku dan Danny sepakat untuk menjenguk Mang Justin di rumahnya. Disana kami disambut dengan gembira oleh Mang Justin. Dia sudah kaya rupanya, ya dalam 3 bulan saja ia menjadi pemilik café tempatnya bekerja. Wanita yang dulu memintanya bekerja sekarang sudah menjadi istrinya sendiri. Bu Mila namanya, seorang anak Saudagar Kaya di Kampung Kenanga. Entah keberuntungan macam apa yang selama ini menaungi Mang Justin. Bila melihat dirinya yang dulu, aku selalu menganggap dirinya bodoh karena sudah terlalu baik. Bagaimana tidak? Warung kopinya sendiri yang menjadi saksi bisu akibat dia terlalu percaya dengan orang lain. Pak Dirga lah yang membuat warungnya menjadi sepi pengunjung hingga akhirnya dia bangkrut. Dulu Mang Justin dan Pak Dirga adalah sahabat, sampai suatu saat, mereka bersama-sama membangun kedai kopi. Bisnis mereka berjalan lancar dan mereka banyak mendapatkan laba. Gelapnya mata karena harta membuat Pak Dirga menjadi pria yang serakah, ia mulai ingin menyingkirkan Mang Justin dan menikmati semua untungnya sendirian. Mang Justin sudah mengetahui niatnya itu dari lama, ia kenal dekat dengan sahabatnya itu, akhirnya Mang Justin memilih untuk membuka warung kopi di tempat yang lain.

Melihat itu, Pak Dirga semakin merasa Mang Justin adalah saingannya. Ia memilih jalan pintas pesugihan dan membuat warung Mang Justin sepi pengunjung. Katanya, Jin Pesugihan akan menutup pandangan warga sehingga Warkop Mang Justin tidak terlihat. Bedanya, aku dan Danny masih bisa melihat Warkop Mang Justin bahkan kami setia menjadi langganannya. Entah karena kelakuan kita yang mirip Jin atau apa, yang jelas kami tidak percaya hal-hal semacam itu. Walau kenyataannya, memang seperti itu adanya. Ya, itulah singkatnya. Sejak usaha warungnya sepi pembeli, Mang Justin masih berusaha keras dan memilih untuk tidak menghiraukan kelakuan sahabatnya itu. Mang Justin memilih ikhlas dan percaya bahwa rezeki itu Allah yang mengatur. Lihat sekarang, dengan mudah Tuhan menjadikan Warkop Mang Justin menjadi Café Mr. Justin.

Semua usaha pasti akan membuahkan hasil, itulah prinsip Mang Justin. Tadinya ku pikir ujian untuk Mang Justin adalah nasib buruk. Nyatanya, nasib buruk itu menjadi investasi berharga di masa yang akan datang. Mungkin memang akulah yang setiap hari kerjanya hanya berburuk sangka saja.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar