KAJIAN STILISTIKA GENETIK :
ANALISIS GAYA DAN RAGAM BAHASA PADA PUISI “JAHIT TUBUH” KARYA EMMA HANUBUN DALAM ANTOLOGI PUISI SESUDAH ZAMAN TUHAN: SAJAK-SAJAK DARI MASA COVID-19
ABSTRAK
Kajian stilistika genetik mengacu pada fokus kegayabahasaan dan ragam bahasa pada karya sastra. Antologi puisi Sesudah Zaman Tuhan: Sajak-Sajak Dari Masa Covid-19 merupakan karya sastra yang dapat dikaji stilistika genetiknya. Utamanya banyak ragam bahasa yang digunakan dan juga gaya bahasa yang memperkuat estetika keindahan puisi-puisinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengupas tuntas stilistika pada puisi “Jahit Tubuh” yang dianggap peneliti memiliki struktur yang unik akibat gaya bahasa yang digunakan Emma Hanubun. Metode yang digunakan peneliti adalah deskriptif kualitatif.
Kata Kunci : Stilistika, Antologi, Puisi, Covid-19.
PENDAHULUAN
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 2007: 112). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa pada dasarnya gaya bahasa identik dengan karya puisi.
Hal ini didukung oleh beberapa pendapat ahli seperti Altenbernd melalui Pradopo (2009: 7) yang mendefinisikan puisi sebagai pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum). Coleridge menjelaskan puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Carlyle berkata puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal. Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Sehingga dapat disimpulkan puisi sebagai wujud pengekspresian perasaan (pencipta) melalui kata-kata yang indah.
Berkaitan dengan hal diatas, kajian stilistika genetik mengacu pada fokus kegayabahasaan dan ragam bahasa pada karya sastra. Antologi puisi Sesudah Zaman Tuhan: Sajak-Sajak Dari Masa Covid-19 merupakan karya sastra yang dapat dikaji stilistika genetiknya. Utamanya banyak ragam bahasa yang digunakan dan juga gaya bahasa yang memperkuat estetika keindahan puisi-puisinya. Kumpulan puisi Sesudah Zaman Tuhan dalam bentuk buku elektronik ini ditulis oleh 47 penyair yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia. Ide pembuatan buku sebenarnya muncul karena rasa simpati Anugrah Gio Pratama untuk meningkatkan kegiatan literasi masyarakat di masa pandemi Covid-19 ini.
Lahirnya buku Sesudah Zaman Tuhan ini menjadi pemicu semangat bagi para penyair untuk terus berkarya dalam kondisi apa pun, dengan buku ini masyarakat mendapat asupan bacaan yang baik serta dapat mengisi waktu luang mereka selama masa karantina dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Penelitian ini bertujuan untuk mengupas tuntas stilistika pada puisi “Jahit Tubuh” yang dianggap peneliti memiliki struktur yang unik akibat gaya bahasa yang digunakan Emma Hanubun (salah satu penyair dalam antologi).
Puisi harus memiliki perpaduan unsur yang tepat agar terciptanya puisi yang indah. Unsur pembangun puisi antara lain bunyi, diksi, bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, bentuk visual, dan makna (Wiyatmi, 2009: 57). Pemilihan sarana retorika atau gaya bahasa tersebut merupakan salah satu unsur yang paling menonjol dan dapat membuat penyampaian puisi lebih mengena kepada pembaca. Pradopo (2004: 9-14) menyatakan bahwa unsur-unsur gaya bahasa itu meliputi: (1) intonasi, (2) bunyi, (3) kata, (4) kalimat, dan (5) wacana.
Gaya Bunyi
Gaya bunyi dalam puisi merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi erat hubungannya dengan unsur-unsur musik, misalnya: lagu, melodi, irama, dan sebagainya. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting, yakni memperdalam ucapan, menimbulkan rasa dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan lain-lain (Pradopo, 2009: 22). Unsur bunyi dalam puisi menurut Wiyatmi (2009: 58) pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) dilihat dari segi bunyi itu sendiri: sajak sempurna, sajak paruh, aliterasi, dan asonansi,
b) berdasarkan posisi kata yang mendukung: sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir,
c) berdasarkan hubungan antarbaris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk.
Asonansi adalah ulangan bunyi vokal yang terdapat pada baris-baris puisi yang menimbulkan irama tertentu, sementara aliterasi dalam ulangan konsonan. Sesuai dengan suasana yang ditimbulkan oleh ulangan bunyi dikenal bunyi efony (bunyi yang menimbulkan suasana menyenangkan) dan cacophony (bunyi yang menimbulkan suasana muram dan tidak menyenangkan). Efony tampak pada bunyi u, a, i, e yang dipadu dengan b, d, k, t. Cacophony didominasi oleh ulangan bunyi k, p, t, s, u, au (Wiyatmi, 2009: 59-63).
Gaya Kata
Diksi merupakan pilihan kata atau frase dalam karya sastra (Abrams melalui Wiyatmi, 2009: 63). Diksi menurut Ahmadi merupakan seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan perasaan. Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan tema, audien, dan kejadian (Mihardja, 2012: 36). Diksi dapat disimpulkan menjadi tiga kesimpulan utama. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat, atau menggunakan kata-kata yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki oleh masyarakat pendengar. Ketiga, diksi adalah pilihan kata yang tepat atau perbendaharaan kata bahasa itu (Keraf, 2007: 24).
Citraan merupakan gambaran-gambaran angan yang menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga menarik perhatian (Pradopo, 2009: 79). Citraan adalah satu alat kepuitisan yang terutama yang dengan itu kesusastraan mencapai sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan, dan menyaran (Altenbernd melalui Pradopo, 2009: 89). Citraan menurut Pradopo (2009: 81-87) dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain: a) citraan penglihatan (visual imagery): citraan penglihatan memberi rangsangan kepada inderaan penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat. b) citraan pendengaran (auditory imagery): citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara (Altenbernd melalui Pradopo, 2009: 82). c) citraan rabaan (thermal imagery) d) citraan pencecapan (lactile imagery) e) citraan penciuman (olfactory imagery) f) citraan gerak (kinesthetic imagery): citraan yang menggambarkan sesuatu sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya.
Gaya bahasa kiasan menurut Keraf (2007: 138-145) antara lain; a) Persamaan atau Simile b) Metafora c) Alegori, Parabel, Fabel d) Personifikasi atau Prosopopoeia e) Alusi f) Hipalase g) Eponim h) Epitet i) Sinekdoke j) Metonimia k) Antonomasia l) Inuendo 23 m) Ironi, Sinisme dan Sarkasme n) Satire o) Antifrasis p) Pun atau Paranomasia.
Gaya Kalimat
Gaya bahasa atau sarana retorika adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf, 2007: 113). Ahmadi menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan kualitas visi, pandangan penulis/penutur, karena gaya bahasa merefleksikan cara seorang pengarang memilih dan meletakkan kata-kata dan kalimat dalam tubuh karangan (Ahmadi melalui Mihardja dkk, 2012: 39). Secara umum gaya bahasa dibedakan menjadi empat, yakni gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan (Tarigan, 2013: 6). Macam-macam gaya bahasa retoris menurut Keraf (2007: 129-136) adalah: a) aliterasi b) asonansi c) litotes d) apofasis atau preterisio e) anastrof atau inversi f) apostrof g) paradox h) oksimoron i) kiasmus j) elipsis k) eufemisme l) pleonasme dan tautology m) silepsis dan zeugma n) perifrasis o) asindeton p) histeron proteron q) polisindeton r) erotesis s) prolepsis atau antisipasi t) hiperbol u) koreksio atau epanortosis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor melalui Moleong (2014: 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deksriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Disebut metode kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif (Sugiyono, 2015:14).
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode alamiah (Moleong, 2014: 6). Analisis kualitatif dimaksudkan untuk menganalisis validitas semantik. Analisis kualitatif lainnya juga dapat dikategorikan dari segi materi, konstruk, dan bahasa (Surapranata, 2005: 1).
Variabel dalam penelitian ini adalah puisi karya Emma Hanubun yang berjudul “Jahit Tubuh” dalam antologi puisi Sesudah Zaman Tuhan: Sajak-Sajak Dari Masa Covid-19. Instrumen dalam penelitian ini antara lain; peneliti sendiri (human instrument) yakni dengan segala pengetahuannya berusaha mendiskripsikan gaya bahasa yang ada pada puisi karya siswa, dan lembar klasifikasi data yakni lembar yang membantu peneliti dalam pengklasifikasian data berupa puisi berdasarkan jenis gaya bahasa yang terkadung dalam puisi.
Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis semantik, yakni dengan membaca, menerjemahkan puisi dengan sungguh-sungguh, dan mengklasifikasikan data ke dalam gaya bahasa sesuai dengan teori yang ada. Data kemudian dianalisis gaya bahasanya dan dikelompokkan sesuai teori gaya bahasa Pradopo. Setelah dikelompokkan, peneliti menarik kesimpulan dari data yang menunjukkan gaya bahasa paling dominan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gaya Bunyi pada Puisi “Jahit Tubuh” karya Emma Hanubun Dalam Antologi Puisi Sesudah Zaman Tuhan: Sajak-Sajak Dari Masa Covid-19.
Gaya bunyi yang dominan digunakan oleh Emma adalah orkestrasi kakofoni dimana puisi “Jahit Tubuh” mengandung kombinasi suara parau yang melambangkan lara hati. Dapat dilihat dari bait pertama dan ketiga yang didominasi oleh ulangan bunyi k, p, t, s, au.
dalam riak-riak hidup
kuhabiskan tubuhku
sebab kau butuh
tangan untuk memapahmu
kaki untuk bergerak ke arah tuju
(2020:62)
kusisakan mataku
jaga-jaga bila perlu
tetapi punggungmu memilih buru-buru
ia menjauh
(2020:62)
Gaya Kata pada Puisi “Jahit Tubuh” karya Emma Hanubun Dalam Antologi Puisi Sesudah Zaman Tuhan: Sajak-Sajak Dari Masa Covid-19.
Gaya kata pada puisi “Jahit Tubuh” dominan menggunakan gaya kiasan metafora. Emma mengibaratkan dirinya yang sedang patah hati dengan sebuah tulang belulang. Kesan tulus dapat dilihat dari penggalan puisi yang berbunyi,
kuhabiskan tubuhku
sebab kau butuh
tangan untuk memapahmu
kaki untuk bergerak ke arah tuju
(2020:62)
dan juga,
kusisakan mataku
jaga-jaga bila perlu
tetapi punggungmu memilih buru-buru
ia menjauh
(2020:62)
Gaya Kalimat pada Puisi “Jahit Tubuh” karya Emma Hanubun Dalam Antologi Puisi Sesudah Zaman Tuhan: Sajak-Sajak Dari Masa Covid-19.
Gaya kalimat yang dominan adalah sarana retorika pengulangan atau repetisi yang dapat dilihat dari penggalan puisi “Jahit Tubuh” bait ke-4.
lantas kubangun ulang
menyusun serakan belulang
menjahit tubuh yang terbuang
memeluknya walau layu
sebab aku adalah rumahku sendiri
(2020:62)
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang terdapat pada puisi “Jahit Tubuh” karya Emma Hanubun dalam antologi puisi Sesudah Zaman Tuhan: Sajak-Sajak dari Masa Covid-19 adalah; 1) Gaya bunyi yang dominan digunakan oleh Emma adalah orkestrasi kakofoni, 2) Gaya kata pada puisi “Jahit Tubuh” dominan menggunakan gaya kiasan metafora, dan 3) Gaya kalimat yang dominan adalah sarana retorika pengulangan atau repetisi.
DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pratama, AG. 2020. Sesudah Zaman Tuhan: Sajak-Sajak dari Masa Covid-19. Diakses secara online pada 4 April 2021.
Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
LAMPIRAN
Jahit Tubuh
Emma Hanubun
dalam riak-riak hidup
kuhabiskan tubuhku
sebab kau butuh
tangan untuk memapahmu
kaki untuk bergerak ke arah tuju
pelan-pelan jiwaku
luruh layaknya debu
menunggu seluruhmu utuh
kusisakan mataku
jaga-jaga bila perlu
tetapi punggungmu memilih buru-buru
ia menjauh
lantas kubangun ulang
menyusun serakan belulang
menjahit tubuh yang terbuang
memeluknya walau layu
sebab aku adalah rumahku sendiri
Ambon, 3 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar