KASUS TAWURAN WAMENA: BUKTI NYATA DISINTEGRASI BANGSA
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berawal dari kerusuhan yang dipicu oleh sekelompok pelajar SMA PGRI Wamena yang menyerang SMA Negeri 1 Wamena karena alasan ditolaknya ajakan mereka terkait menjalankan aksi demo di kantor bupati. Bentrokan pun pecah. Demonstrasi berubah baku hantam tak terkendali. Arahan bupati Jayawijaya, tak digubris. Kantornya ikut jadi sasaran. Dibakar. Begitu pula kendaraan yang parkir di dalam area kantor bupati.Kerusuhan berakhir ricuh di depan kantor bupati, perkelahian antara SMA PGRI dan SMA Negeri 1 Wamena tidak dapat terelakkan lagi.
Tawuran antar pelajar selalu menjadi agenda pembicaraan setiap tahunnya, masalah ini bukan perkara baru dan bukan perkara yang remeh. Tawuran biasa terjadi karena banyak hal,dimulai dari hal yang sepele hingga hal yang paling besar. Tawuran antar pelajar saat ini sudah menjadi masalah yang sangat menggangu ketertiban dan keamanan lingkungan di sekitarnya. Saat ini, tawuran antar pelajar sekolah tidak hanya terjadi di lingkungan atau sekitar sekolah saja, namun terjadi di jalan-jalan umum, sehingga tak jarang pula mengakibatkan pengrusakan fasilitas publik. Perilaku tawuran antar pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau korban cedera tapi sudah merenggut nyawa banyak orang.
Berbagai konflik yang muncul di daerah seperti Papua diatas pada awalnya terjadi akibat ketidakadilan secara ekonomi, namun akhirnya dibungkus dengan pertikaian beraroma SARA. Konflik bermuatan SARA inilah yang akan membuat negara ini menghadapi ancaman disintegrasi bangsa yang memungkinkan negara ini terpecah-pecah menjadi ratusan negara baru. Oleh karena itu , makalah yang bertema ancaman disintegrasi dan konflik dalam negara Indonesia ini akan membahas lebih dalam tentang pengertian disintegrasi bangsa dan ancaman disintegrasi serta konflik dalam negara Indonesia.
Rumusan Masalah
Apakah arti konflik dan disintegrasi bangsa?
Hal-hal apa yang menyebabkan disintegrasi bangsa?
Ancaman apa yang dapat ditimbulkan dengan adanya disintegrasi bangsa?
Bagaimana upaya mencegah ancaman disintegrasi bangsa?
BAB II
LANDASAN TEORI
Kodrat integrasi pada bangsa Indonesia, tercipta oleh kesadaran kebangsaan dan cita-cita perjuangan yang di bangun melalui gairah dan kehendak yang kuat dari kodrat keanekaragaman kehidupan bangsa Indonesia. Kodrat keanekaragaman itulah yang membangun kehendak berintegrasi ke dalam suatu kesatuan bangsa, dan bercita-cita membangun satu kehidupan kebangsaan, dalam satu Negara kesatuan Republik Indonesia. Bagi Negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Indonesia konsep integrasi sering di gunakan dalam rangka penyatuan wilayah Indonesia dalam satu wawasan di sebut dengan wawasan nusantara. Adanya beberapa suku-bangsa yang di miliki oleh Indonesia, di satu pihak merupakan kebanggaan tersendiri karena memiliki kekayaan kebudayaan yang sangat tinggi harganya. Namun di sisi lain dengan banyaknya jumlah suku bangsa yang ada merupakan sumber timbulnya konflik.
Proses integrasi berawal dari adanya kesempatan seseorang untuk berhubungan atau berkomunikasi. Dengan berkomunikasi, seseorang dapat melakukan kontak dengan pikiran orang lain, dan umumnya di akhiri dengan terbentuknya norma-norma kelompok yang baru. Antara dua titik temu itu sudah pasti terdapat aktivitas-aktivitas social ekonomi dan budaya lewat kegiatan di mana berlangsung kontak social atau interaksi. Secara etimologi, integrasi berasal dari kata latin yang artinya memberi tempat bagi suatu unsur demi suatu keseluruhan. Kemudian dari bentuk kata kerja itu di bentuk kata benda integritas yang artinya keutuhan atau kebulatan. Selanjutnya, dari kata integritas di bentuk kata sifat integer yang artinya utuh. Oleh sebab itu, istilah integrasi berarti membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. (Emiliana Sadilah 1997:24). Kemudian integrasi sosial dikatakan berhasil apabila:
Seluruh anggota masyarakat merasa bahwa mereka saling mengisi kebutuhan mereka, dan tidak saling merintangi atau merugikan.
Terdapat consensus (kesepakatan) antar kelompok mengenai norma- norma social, yang memberi arah pada tujuan yang dicita-citakan dan menjadi kajian bagi cara dan upaya untuk mewujudkannya.
Bertahannya norma-norma tersebut secara relative lama, dan tidak setiap kali berubah-ubah (konsisten). Phill Astrid (1982:105)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Konflik dan Disintegrasi Bangsa
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul.Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disintegrasi merupakan keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah;hilangnya keutuhan atau persatuan;perpecahan. Sedangkan bangsa adalah kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan,adat,bahasa, dan sejarahnya,serta berpemerintahan sendiri.Sehingga disintegrasi bangsa adalah keadaan tidak bersatu atau pecahnya suatu kelompok masyarakat dimana berasal dari keturunan,adat, bahasa,dan pemerintah yang sama.
3.2 Ancaman Disintegrasi Bangsa
Akhir-akhir ini juga sering terjadi konflik-konflik kecil di daerah, seperti di Tarakan, Kalimantan Timur, dan juga yang masih sering terjadi kerusuhan di Ambon. Konflik-konflik terjadi karena perbedaan suku maupun agama. Bangsa ini rasanya tidak akan pernah lepas dari masalah disintegrasi, karena manusianya tidak segera sadar. Bangsa ini masih terlalu lemah untuk mengikat tali persatuan dan kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Apalagi sekarang ini memasuki era globalisasi, dimana jalinan informasi dan komunikasi sudah saling terbuka di seluruh dunia. Kehadiran globalisasi memang membawa dampak yang baik juga terhadap kehidupan kita, karena kita sekarang lebih bisa berinteraksi dan mendapat lebih banyak ilmu pengetahuan dari bangsa lain sehingga kita tidak terpuruk dalam keterbelakangan. Namun dampak negatif yang ditimbulkan juga besar sekali untuk memicu terjadinya disintegrasi suatu bangsa.
3.3 Upaya Penanggulangan
Dari hasil analisis diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain :
1. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
2. Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.
3. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari pembahasan diatas tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Disintegrasi bangsa merupakan permasalahan kompleks, akibat akumulasi permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih sehingga perlu penanganan khusus dengan pendekatan yang arif serta mengutamakan aspek hukum, keadilan, sosial budaya.
Pertarungan elit politik yang diimplementasikan kepada penggalangan massa yang dapat menciptakan konflik horizintal maupun vertical harus dapat diantisipasi.
Kepemimpinan dari elit politik nasional hingga kepemimpinan daerah sangat menentukan meredamnya konflik pada skala dini. Namun pada skala kejadian diperlukan profesionalisme aparat kemanan secara terpadu.
Saran
Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijakan dan strategi pertahanan serta upaya-upaya apa yang akan ditempuh, maka disarankan beberapa langkah sebagai berikut :
Setiap warga negara agar memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang berlaku, kalau perlu diambil sumpah seperti halnya setiap prajurit yang akan menjadi anggota TNI dan tata cara penyumpahan diatur dengan Undang-undang.
Pendidikan jangka panjang harus memperkenalkan tentang perbedaan umat manusia dan kemajemukan budaya bangsa Indonesia dari tingkat sekolah yang terendah sampai yang tertinggi secara bertahap, bertingkat dan berlanjut.
Menumbuhkan rasa nasionalisme yang mulai luntur, jika perlu mungkin dibuat semacam deklarasi Nasional oleh pemerintah dengan tekad memelihara keutuhan persatuan dan kesatuan NKRI. Suatu deklarasi yang tepat akan dapat menjadi pemicu tumbuhnya rasa nasionalisme.
Sumber:
https://www.jawapos.com/features/07/10/2019/memadamkan-bara-amarah-yang-tersisa-di-wamena/ (Jawa Pos Online 7 Oktober 2019)
file:///D:/MS%20OFFICE/PDF/MKDU4111-M1.pdf (Modul 1. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Dr. Zainul Ittihad Amin, Drs., M.Si.)
file:///D:/MS%20OFFICE/PDF/976-1799-1-PB.pdf (Fenomena Tawuran Antar Pelajar Dan Intervensinya. A. Said Hasan Basri)
file:///D:/MS%20OFFICE/PDF/PAPER%20KWN,%20UAS,%20VERONIKA%20YUNI%20S.%20152863.pdf (Jurnal. Maraknya Kriminalitas Pada Dunia Pendidikan Ditinjau Dari Negara Demokrasi. Veronika Yuni Sari. STIKP Widya Yuwana Madiun. 2019)
LAMPIRAN
Memadamkan Bara Amarah Yang Tersisa di Wamena
Kita Semua Keluarga Seumur Semati
Air mata Wamena belum kering benar. Jangan sampai tumpah lagi. Kini saatnya meredam amarah, melupakan permusuhan. Jangan dirikan lagi sekat bernama OAP (orang asli Papua) dan non-OAP.
SAHRUL YUNIZAR, Wamena, Jawa Pos
—
SENIN pagi, 23 September 2019. Defira riang betul saat tiba di sekolah. Sebelum ujian, siswa SMA Negeri 1 Wamena itu ikut mengumandangkan lagu Indonesia Raya. Upacara bendera berlangsung seperti minggu-minggu sebelumnya.
Begitu lembar ujian dibagikan, cepat tangannya bergerak.
Menjawab satu per satu pertanyaan. Namun, gerakan tangannya tiba-tiba berhenti. Teriakan dari arah luar gerbang sekolah membuat Defira kaget. Ratusan pelajar bergerombol masuk. Mereka mengajak siswa di sekolah Defira ikut berdemo ke depan kantor bupati.
Defira dan teman-temannya menolak. Sikap itu dibalas lemparan batu. ”Kaca-kaca pecah. Saya punya sekolah hancur. Kepala sekolah tahan kami supaya tidak balas,” kata dia menceritakan awal terjadinya kerusuhan di Wamena.
Walau tidak melawan, banyak siswa yang tersulut emosi setelah tahu gerombolan yang melempari sekolah mereka adalah siswa SMA PGRI. Rival mereka selama ini.
Lemparan batu memang tidak langsung dibalas. Mereka memilih mendatangi gerombolan itu. Menuju kantor bupati. Menyasar siswa-siswa SMA PGRI Wamena. Bentrokan pun pecah. Demonstrasi berubah baku hantam tak terkendali. Arahan Jhon Richard Banua, bupati Jayawijaya, tak digubris. Malah kantornya ikut jadi sasaran. Dibakar. Begitu pula kendaraan yang parkir di dalam area kantor bupati.
Di sebuah rumah di Jalan J.B. Wenas, Ryan Hendrawan melihat asap tebal membubung tinggi. Bangunan terbakar tidak jauh dari tempat dia tinggal. ”Ribut di Hom-Hom,” sebuah pesan masuk melalui handy talky.
Ryan seakan tak percaya. Dia sempat melongok ke luar rumah. Namun, pria asal Surabaya itu buru-buru masuk lagi ke rumahnya. Dia amankan istri dan anaknya. Ryan melihat massa bergerak cepat ke arahnya. Padahal, di sekitar rumahnya hanya ada belasan orang.
”Mati sudah kami,” pikirnya kala itu. Kepanikan tampak di mana-mana. Termasuk di pasar yang sedang dipenuhi perempuan berbelanja. Semua kocar-kacir berhamburan. Menyelamatkan diri.
Massa tidak hanya mengamuk di Hom-Hom. Pasar Wouma juga membara. Api menyala di sana. ”Langit gelap sekali. Sudah asap semua,” kata Ryan. Saat itu dia belum tahu apa yang sedang terjadi. Dia heran mengapa massa membakar satu per satu rumah, toko, dan bangunan pemerintah.
Ryan baru tahu setelah prajurit TNI datang, kemudian mengevakuasi keluarganya. Saat truk TNI yang mengangkutnya melintas di Jalan J.B. Wenas, tubuh Ryan lemas. Dengkulnya serasa mau copot. ”Saya lihat orang yang sarapan sama-sama sudah terpanggang di dalam mobil,” ucap dia getir.
Kerusuhan tidak berlanjut sampai malam. Namun, ketegangan masih ada. Sampai sepekan pasca kerusuhan. Ketika Jawa Pos tiba di Wamena, tatapan saling curiga masih terasa. Gap antara penduduk asli dan pendatang tercipta. Luka sudah terbuka. Masyarakat yang merasa jadi target amuk massa memilih pergi. Satu demi satu keluar Wamena. Mereka eksodus. Data terakhir yang diperoleh Jawa Pos, ada 16.500 orang yang keluar dari Wamena.
Bagi Wamena yang juga ibu kota Jayawijaya, angka itu termasuk tinggi. Sepinya aktivitas masyarakat menjadi bukti. Roda ekonomi bergerak pelan. Jaminan keamanan terus dipertanyakan.
***
”Kita di sini tidak ada kebencian sedikit pun terhadap teman-teman non-Papua,” tutur Pendeta Esmon Walilo. Hubungan baik dibangun sejak lama. Jauh sebelum Indonesia berdiri. Ketika penjelajah dan misionaris dari negeri nan jauh di sana datang, penduduk Lembah Baliem sudah membuka diri. ”Kami dalam konteks budaya di Baliem ini, kalau orang luar datang dari mana-mana, sudah dianggap keluarga seumur semati,” tandasnya.
Sejak lama masyarakat Wamena hidup berdampingan dengan pendatang dari banyak daerah. Mereka bahu-membahu saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Tidak ada sekat. Itu pula yang membuat Wamena hidup, cepat berkembang, sampai menjadi salah satu kota paling sibuk di Papua. ”Ini tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba meledak begitu saja,” sesal pria yang juga ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Jayawijaya tersebut.
Wamena yang saat ini sakit, lanjut Esmon, harus disembuhkan kembali. Bukan cuma oleh penduduk asli. Tapi juga para pendatang. ”Kami senang ada teman-teman pendatang di sini. Kita bangun kembali Wamena bersama,” tuturnya. Dia menyadari, masyarakat butuh waktu untuk menghilangkan trauma. ”Membutuhkan waktu yang panjang,” tambahnya.
Esmon berharap masalah di kota yang dia cintai itu tidak berlarut-larut. Kian cepat Wamena pulih kian baik. Dia tahu betul ada banyak pendatang yang menggantungkan hidup di Wamena. Mereka yang sejak lahir tinggal di Wamena. Mereka yang membangun keluarga di Lembah Baliem. Juga mereka yang merajut mimpi-mimpi besar di sana.
Misalnya Yuliani Rahmawati. Perempuan asal Cileungsi, Bogor, yang menikah dengan lelaki Papua. Tiga tahun lalu Yuli –sapaan Yuliani– mengikat janji suci dengan seorang pria bernama Kantius Wenda, OAP yang lahir di Lanny Jaya, tapi besar di Wamena. ”Kami bertemu di tempat kerja,” ucap Kantius dan Yuli serentak. Malu-malu. Mereka menceritakan bahwa tidak ada beda di antara pendatang dan penduduk asli Wamena. Apalagi mereka yang dilahirkan di sana. Dari suku mana pun, mereka disebut asli Wamena.
Berjalan tiga tahun, pernikahan Yuli dengan Kantius semakin membahagiakan keduanya. Mereka kini dikaruniai dua putri. Katsi Aurora Wenda dan Kayla Obelom Wenda. Seperti ayahnya, keduanya punya rambut keriting. Sedangkan senyum Katsi dan Kayla manis seperti milik ibu mereka. ”Tidak ada yang sulit saat kami menikah. Semua baik-baik saja,” kenang Kantius.
Selama tinggal di Wamena, pria 29 tahun itu mengatakan, hubungan dengan para pendatang tidak pernah bermasalah. Sedikit salah paham antar tetangga tentu wajar saja. Namun, masalah besar yang sampai harus dibayar nyawa tidak pernah ada. Dia termasuk salah seorang yang berharap besar hubungan baik di antara masyarakat Wamena terus berlangsung. Jangan sampai musnah pasca kerusuhan. Masyarakat dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah lainnya sudah menunjukkan mampu selaras membangun kebersamaan. Bertahun-tahun dipertahankan dan diwariskan turun-temurun. ”Tidak boleh hilang,” ujarnya.
Entis Sutisna, ketua Paguyuban Sunda yang tergabung dalam kelompok masyarakat Jawa, Sunda, Madura (Jasuma), pun sepakat. Selama 14 tahun tinggal di Wamena, dia tidak ingin fondasi kebersamaan dihancurkan segelintir orang. Yang tidak jelas asal usulnya, yang ingin memecah masyarakat lewat isu rasisme.
Bagi Entis, pihak-pihak yang ingin memecah belah masyarakat akan senang jika hubungan menjadi renggang. Karena itu, dia memilih bertahan. Tidak pergi meninggalkan Wamena meski banyak yang eksodus ke Jayapura. ”Saya akan tetap di sini,” tegasnya. Tentu dia tidak melarang siapa pun keluar Wamena. Namun, kembali membangun Wamena juga penting.
Karena itu, Entis mengajak seluruh masyarakat yang selama ini tinggal dan hidup di Wamena untuk kembali. Bersama-sama membangun kota tempat mereka mengais rezeki. Pendatang maupun penduduk asli dibutuhkan untuk menggerakkan lagi roda ekonomi.
”Tapi, kalau seperti ini kan orang bubar semua. Satu minggu (belakangan) ini kota seperti kota mati,” tambah Pendeta Esmon. Kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan. Mulai hari ini (7/10) sekolah dibuka. Dia berharap keputusan itu membuat Wamena kembali hidup. Yang sudah keluar dari Wamena segera kembali; yang sebelumnya takut keluar rumah mulai memberanikan diri. Menghidupkan lagi Wamena.
Pendeta Aser Asso, tetua suku Lani, ikut sedih begitu tahu Wamena dibuat hancur oleh sekelompok pengacau. Dia menyebutkan, masyarakat Lembah Baliem tidak pernah memusuhi pendatang. Dari mana pun orang datang diterima dengan baik. ”Dari Jawa, Sumatera, Kalimantan. Mereka semua manusia, tidak boleh dibunuh,” tegasnya.
Hasil Kebun Kini Sepi Pembeli
KERUSAKAN pasca kerusuhan di Wamena, Jayawijaya, Papua, bukan cuma soal fisik. Masyarakat terdampak insiden mengerikan itu juga mengalami luka psikis. Ribuan orang eksodus dari Wamena karena ketakutan. Karena itu, harus ada cara-cara khusus untuk menyembuhkan trauma tersebut.
Matius Murib, tokoh masyarakat Wamena, menyampaikan bahwa keputusan masyarakat meninggalkan Wamena sangat manusiawi. ”Kami juga tidak bisa larang,” katanya. Namun, dia menekankan bahwa tidak ada masyarakat lokal yang mengusir pendatang. ”Justru kami di sini sedih. Makin banyak Hercules membawa mereka pergi, kami makin sedih,” terang dia. Matius mengakui, masyarakat yang merasakan langsung kengerian kerusuhan dua minggu lalu butuh waktu untuk memulihkan diri. Namun, dia tidak ingin hal itu membuat mereka enggan kembali ke Wamena. ”Harapan kami mereka cepat kembali,” ujarnya. Dalam hati para pengungsi itu, lanjut dia, harus ditanamkan bahwa masyarakat Wamena menunggu mereka kembali.
Bupati Jayawijaya Jhon Richard Banua mengakui, dirinya sudah mendapat kabar adanya masyarakat yang ingin kembali ke Wamena. Kabar itu sangat baik. Sebab, pihaknya berusaha membangun Wamena kembali. ”Kalau kami lihat sekarang, hampir semua sudah jalan kembali,” katanya. Dibukanya sekolah mulai hari ini (7/10), menurut dia, akan menarik kembali pengungsi.
TNI-Polri juga terus berusaha memberikan jaminan keamanan. Pendekatan keamanan itu dinilai sebagai salah satu kunci untuk memulihkan Wamena. Kapolres Jayawijaya AKBP Tonny Ananda mengungkapkan bahwa semua daerah rawan sudah dijaga aparat kepolisian. Mereka didukung personel TNI. Jalur-jalur masuk Jayawijaya dijaga ketat. Setiap orang yang masuk daerah tersebut diperiksa. Bukan membatasi, itu dilakukan untuk memastikan tidak ada perusuh masuk. Kerusuhan yang mengakibatkan puluhan nyawa melayang di Wamena diduga digerakkan pihak luar.
Langkah itu bukan satu-satunya. Tonny menyebutkan bahwa pihaknya sudah mengundang tokoh-tokoh Wamena. ”Semua kami kumpulkan untuk merekatkan kembali masyarakat,” ujarnya. Tokoh masyarakat lokal yang terdiri atas tokoh adat, tokoh pemuda, dan kepala suku sudah bertemu dengan tokoh pendatang.
Perwira menengah dengan dua melati di pundak itu menyebutkan, tokoh lokal sudah meminta maaf kepada tokoh pendatang. Mereka sudah mengajak para pendatang kembali menjalankan roda perekonomian. ”Karena merasa kalau nggak ada pelaku ekonomi ini susah, mau cari makan, mau beli supermi jadi susah,” ujarnya.
Kondisi itu menjadi problem bagi masyarakat yang masih berada di Wamena. Termasuk masyarakat asli. Hasil kebun yang biasa laku di pasar kini sepi pembeli. Bahan-bahan makanan susah dicari. Harga pun lebih tinggi daripada biasanya.
Editor : Ilham Safutra
Reporter : */syn/fia/jo/nat/c6/c9/c10/oni
Sumber :
https://www.jawapos.com/features/07/10/2019/memadamkan-bara-amarah-yang-tersisa-di-wamena/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar