Minggu, 04 September 2022

KAJIAN KONSTRUKSI SOSIAL DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA AA NAFIS : ANALISIS KONSTRUKSI BERGER

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Cerpen atau cerita pendek adalah karya fiksi berbentuk prosa yang isinya merupakan kisahan pendek dan mengandung kesan tunggal.Masalah kehidupan yang disuguhkan pengarang dalam cerpennya tentu saja merupakan refleksi realitas, yaitu penafsiran mengenai kehidupan manusia atau merupakan suatu bentuk penyaluran ide pengarang untuk menyindir suatu realita yang ada dalam masyarakat. Melalui cerpen yang dikarangnya, pengarang juga dapat mengembangkan ide-ide baru yang terlintas dalam pikiran pengarang sehingga dapat diperhatikan oleh pembaca dan dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan.

Dalam penulisannya cerpen tentu berbeda dengan karangan ilmiah.Menulis cerpen tidak hanya menuangkan gagasan atau merangkai cerita saja, tetapi juga kalimatkalimat yang digunakan harus memiliki jiwa yang membuat pembaca seolah-olah mengalami sendiri peristiwa atau konflik yang ada dalam cerita. Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal.

Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan.Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen seperti melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, pembacanya ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikiran pembaca dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibaca. Ketika itulah si pembaca itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.

Cerpen ”Robohnya Surau Kami” merupakan cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim (hanya beribadah melulu) justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Dalam cerpen ini pengarang ‘meminjam kacamata’ Tuhan untuk menyampaikan idenya, bahwa Tuhan telah menciptakan manusia bukan hanya untuk menyembahNya saja karena seperti yang Tuhan katakan Dia tidak mabuk pujian dan sembahan dari manusia. Dia memang seharusnya Yang Maha Agung (tidak mengurangi kemahaagungan-Nya) walaupun tak ada yang menyembahnya, begitupun tidak akan menambah keagunganNya walaupun manusia seluruhnya beriman kepadaNya. Oleh karena itu, manusia yang seharusnya sensitif pada keadaan sekitarnya dan berusaha untuk menjadi lebih efektif dalam merubah keadaan dirinya.



  1. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana bentuk eksternalisasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Nafis?

  2. Bagaimana bentuk objektivasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Nafis?

  3. Bagaimana bentuk internalisasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Nafis?


  1. Tujuan

  1. Untuk mendeskripsikan bentuk eksternalisasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Nafis.

  2. Untuk mendeskripsikan bentuk objektivasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Nafis.

  3. Untuk mendeskripsikan bentuk internalisasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Nafis.


  1. Manfaat

  1. Dapat memberikan pengetahuan akan bentuk eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang direpresentasikan dalam cerpen.

  2. Dapat menjadi referensi lebih bagi peneliti yang relevan dalam hal mengkaji teori konstruksi realitas sosial.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

  1. Cerita Pendek

Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dipisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan (Kosasih dkk, 2004: 431). Cerpen atau dapat disebut juga dengan cerita pendek merupakan suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerpen cenderung singkat, padat, dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi lain yang lebih panjang, seperti novelet dan novel.

Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita mengenai manusia beserta seluk beluknya lewat tulisan pendek dan singkat. Atau pengertian cerpen yang lainnya yaitu sebuah karangan fiktif yang berisi mengenai kehidupan seseorang ataupun kehidupan yang diceritakan secara ringkas dan singkat yang berfokus pada suatu tokoh saja. Menurut KBBI, cerpen berasal dari dua kata yaitu cerita yang mengandung arti tuturan mengenai bagaimana sesuatu hal terjadi dan relatif pendek berarti kisah yang diceritakan pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata yang memberikan sebuah kesan dominan serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam cerita pendek tersebut.

Sedangkan menurut Nugroho Notosusanto dalam Tarigan. Cerpen atau cerita pendek yaitu sebuah cerita yang panjang ceritanya berkisar 5000 kata atau perkiraan hanya 17 hlm kuarto spasi rangkap serta terpusat pada dirinya sendiri. Cerpen ialah sebuah cerita yang singkat yang harus memiliki bagian terpenting yakni perkenalan, pertikaian, serta penyelesaian. Pendapat orang tentang cerpen sangat berbeda, masing-masing pendapatnya sangat baik dan memiliki perbedaanuntuk itu saya berpendapat cerpen ialah suatu karangan yang berkisah pendek yang mengandung kisahan tungal, menurut pendapat H. B. Jassin (2003: 89).


  1. Unsur Unsur Cerita Pendek

Sebuah karya fiksi merupakan manifestasi pengalaman estetis dan pengalaman pribadi pengarang yang kombinasikan melalui imajinatif dan dituangkan dalam bentuk tulisan. Cerpen mempunyai unsur-unsur, yang saling berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainya. Bagian-bagian cerpen saling berkaitan membentuk satu kesatuan yang utuh dan menjadikan ceritanya begitu menarik. Unsur-unsur pembangun sebuah cerpen yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik Wellek & Daren (dalam Karmini, 2011:14).

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Maksud dari dalam yaitu unsur-unsur tersebut merupakan suatu kesatuan yang membentuk keutuhan cerita. Keutuhan dan kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya. Adapun unsur-unsur intrinsikmeliputi: (1) tema, (2) alur/plot, (3) penokohan, (4) Latar/setting, (5) gaya bahasa, (6) sudut pandang, dan (7) amanat.

Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi system organisme karya sastra atau unsur-unsur yang mempengaruhi sistem bangun cerita sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak menjadi bagian di dalamnya (Karmini, 2011:14), unsur ekstrinsik memiliki pembagian-pembagian diantaranya, latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain.


  1. Teori Konstruksi Realitas Sosial

Istilah konstruksi realitas sosial pertama kali dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociology of Knowledge yang memiliki akar dari fenomenologi dan interaksi simbolik. Menurut Laura Christina Luzar dari Universitas Binus dalam proses Konstruksi Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality) didefinisikan sebagai tahapan sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Menurut Berger & Luckman, terdapat 3 (tiga) bentuk realitas sosial, antara lain :

  1. Realitas Sosial Eksternalisasi

Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.

  1. Realitas Sosial Objektifikasi

Merupakan ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang umumnya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-berita di media.

  1. Realitas Sosial Internalisasi

Realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Atau bisa disebut dengan bagaimana orang menyerap apa yang mereka lihat.


  1. Konstruksi Sosial Berger

Berger membagi konstruksi sosial menjadi 3 bagian, yakni proses sosial momen eksternalisasi, proses sosial momen objektivasi, hingga proses sosial momen internalisasi. Hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut.

  1. Eksternalisasi

Kedirian manusia adalah melakukan eksternalisasi yang terjadi sejak awal, karena ia dilahirkan belum selesai, berbeda dengan binatang yang dilahirkan dengan organisme yang lengkap. Untuk menjadi manusia, ia harus mengalami perkembangan kepribadian dan perolehan budaya (Berger, 1994: 5–6). Keadaan manusia yang belum selesai pada saat dilahirkan, membuat dirinya tidak terspesialisasi dari struktur instinktualnya, atau dunianya tidak terprogram. Dunia manusia adalah dunia yang dibentuk (dikonstruksi) oleh aktivitas manusia sendiri; ia harus membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia (Berger, 1994: 6–7).

Dunia manusia yang dibentuk itu adalah kebudayaan, yang tujuannya memberikan struktur-struktur yang kokoh yang sebelumnya tidak dimilikinya secara biologis. Oleh karena merupakan bentukan manusia, struktur-struktur itu bersifat tidak stabil dan selalu memiliki kemungkinan berubah. Itulah sebabnya, kebudayaan selalu dihasilkan dan dihasilkan kembali oleh manusia. Ia terdiri atas totalitas produk-produk manusia, baik yang berupa material dan nonmaterial (Berger, 1994: 8). Manusia menghasilkan berbagai jenis alat, dan dengan alat-alat itu pula manusia mengubah lingkungan fisis dan alam sesuai dengan kehendaknya. Manusia menciptakan bahasa dan membangun simbol-simbol yang meresapi semua aspek kehidupannya.

Adapun pembentukan kebudayaan nonmaterial selalu sejalan dengan aktivitas manusia yang secara fisis mengubah lingkungannya. Akibatnya, masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan nonmaterial. Masyarakat adalah aspek dari kebudayaan nonmaterial yang membentuk hubungan kesinambungan antara manusia dengan sesamanya, sehingga ia menghasilkan suatu dunia, yakni dunia sosial (Berger, 1994: 8–9). Masyarakat merupakan bentuk formasi sosial manusia yang paling istimewa, dan ini lekat dengan keberadaan manusia sebagai homo sapiens (makhluk sosial).

Maka itu, manusia selalu hidup dalam kolektivitas, dan akan kehilangan kolektivitasnya jika terisolir dari manusia lainnya. Aktivitas manusia dalam membangun-dunia pada hakikatnya merupakan aktivitas kolektif. Kolektivitas itulah yang melakukan pembangunan-dunia, yang merupakan realitas sosial. Manusia menciptakan alat-alat, bahasa, menganut nilai-nilai, dan membentuk lembaga-lembaga. Manusia juga yang melakukan proses sosial sebagai pemelihara aturan-aturan sosial (Berger, 1994: 9210).

  1. Objektivasi

Dengan memainkan peranan berarti individu berpartisipasi dalam suatu dunia sosial. Dengan menginternalisasi peranan, dunia secara objektif menjadi nyata baginya. Bagi Berger dan Luckmann (1990: 106–109), yang penting dalam peranan adalah proses pembiasaan. Peranan itu terdapat dalam interaksi sosial dan mendahului pelembagaan. Semua perilaku yang sudah dilembagakan, melibatkan berbagai peranan. Karena itu, peranan memiliki sifat mengendalikan pelembagaan. Begitu pelaku-pelaku sudah ditipifikasi sebagai peranan, perilakunya dapat dipaksakan. Maka, mau tidak mau, individu manusia harus menaati norma-norma peranan yang sudah disepakati secara sosial. Di sinilah peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan. Misalnya, peranan desa adat dalam masyarakat Bali, merepresentasikan kelembagaan desa adat (pakraman).

Individu harus “keluar” dan belajar mengetahui tentang lembaga-lembaga, sama seperti dalam memahami alam. Cara itu harus dilakukan oleh individu, meskipun kenyataan buatan manusia. Proses dengan mana produk-produk aktivitas manusia yang dieksternalisasi memperoleh sifat objektif inilah yang disebut objektivasi. Jadi, objektivasi berarti disandangnya produk-produk aktivitas (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan produsennya semula, dalam bentuk kefaktaan (faktisitas) yang bersifat eksternal. Dunia kelembagaan adalah aktivitas manusia yang diobjektivasi. Dunia sosial yang telah memperoleh sifat objektif, tetap tidak dapat dilepaskan dari status ontologisnya, dari aktivitas manusia yang menghasilkannya.

  1. Internalisasi

Internalisasi berlangsung karena adanya upaya untuk identifikasi. Si anak mengoper peranan dan sikap orang-orang yang berpengaruh, dan menginternalisasi serta menjadikannya peranan sikap dirinya. Dengan mengidentifikasi orang-orang yang berpengaruh itulah anak mampu mengidentifikasi dirinya sendiri, untuk memperoleh suatu identitas yang secara subjektif koheren dan masuk akal. Diri merupakan suatu entitas yang direfleksikan, yang memantulkan sikap yang mula-mula diambil dari orang-orang yang berpengaruh terhadap entitas diri itu. 

Sosialisasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu abstraksi yang semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya. Dalam sosialisasi primer biasanya tidak ada masalah dalam identifikasi, karena orang-orang yang berpengaruh tidak dipilih. Anak harus menerima orang-orang yang berpengaruh itu apa adanya, ibarat nasib, dan terjadi secara kuasi-otomatis. Anak menginternalisasi dunia orang-orang yang berpengaruh tidak sebagai satu di antara banyak dunia yang mungkin, sebagai kenyataan yang tidak terelakkan.

Anak menginternalisasinya sebagai dunia satu-satunya yang ada dan yang dapat dipahami. Oleh karena itulah dunia yang diinternalisasi dalam sosialisasi primer jauh lebih kuat tertanam dalam kesadaran dibandingkan dengan dunia-dunia yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder. Hal yang pertama sekali harus diinternalisasi adalah bahasa. Dengan bahasa, sebagai perantaraannya, berbagai skema motivasi dan interpretasi diinternalisasi sebagai sudah didefinisikan secara kelembagaan. Yang jelas, dalam sosialisasi primerlah dunia pertama individu terbentuk.


  1. Cerpen Robohnya Surau Kami

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis menceritakan tentang seorang penjaga surau yang meradang akibat mendengar cerita dari seorang pembual tentang kejadian di akhirat kelak. Dikisahkan oleh si pembual, bahwa Tuhan lebih menyukai orang-orang yang tidak hanya fokus beribadah sepanjang hidupnya, tetapi juga menjalankan perintah-Nya untuk menyayangi sesama, melindungi keluarga, mencintai alam, bekerja, dan sebagainya. Si kakek penjaga surau yang memang menghabiskan hidupnya untuk merawat surau dan beribadah kepada Tuhan pun akhirnya bunuh diri.

Dalam proses kreatifnya, A.A. Navis dikenal selalu memberikan efek getir pada cerita-ceritanya untuk membahas mengenai ironi yang ada di dunia, terutama di negeri ini. Dari cara penulisan itu, dapat diketahui apa yang menjadi maksud pengarang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh proses penulisan karya yang sangat dipengaruhi oleh keadaan yang sedang berlaku di sekitar seorang penulis. Penulis yang peka akan terangsang intuisi kebahasaannya untuk melihat dan menerjemahkan apa yang terjadi menjadi bahan olahan untuk kemudian diproses menjadi sebuah kisah yang bahkan bisa tak pernah menampakkan ide dasar penulis secara gamblang, namun harus dianalisis oleh pembaca, dengan kata lain dituliskan secara implisit.

BAB III

PEMBAHASAN

  1. Eksternalisasi

Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis; keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa-gerak. Keberadaannya harus terus-menerus mencurahkan kediriannya dalam aktivitas. Keharusan antropologis itu berakar dalam kelengkapan biologis manusia yang tidak stabil untuk berhadapan dengan lingkungannya (Berger dan Luckmann, 1990: 75: Berger, 1994: 5–6). Bentuk eksternalisasi dapat ditemukan sebagaimana dalam kutipan cerpen Robohnya Surau Kami dibawah ini.

“Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek. Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia men-dapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.” (Nafis, 2010)

Bentuk eksternalisasi dapat kita petik dari kutipan diatas yang menunjukkan individu kakek hidup berdasarkan lingkungan masyarakat memperlakukannya. Sebagai garin dan juga sebagai pengasah pisau. Individu kakek tumbuh menjadi pribadi yang sabar dan ikhlas karena lingkungan masyarakat sekitarnya pun bahkan tidak memberi imbalan yang pantas atas kerja keras kakek. Lebih sering hanya memberi imbalan ucapan terima kasih dan sedikit senyum.


  1. Objektivasi

Bagi Berger, masyarakat adalah produk manusia, berakar pada fenomena eksternalisasi. Produk manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian berada di luar dirinya, menghadapkan produk-produk sebagai faktisitas yang ada di luar dirinya. Meskipun semua produk kebudayaan berasal dari (berakar dalam) kesadaran manusia, namun produk bukan serta-merta dapat diserap kembali begitu saja ke dalam kesadaran. Kebudayaan berada di luar subjektivitas manusia, menjadi dunianya sendiri. Dunia yang diproduksi manusia memperoleh sifat realitas objektif (Berger, 1994: 11–12).

Egois, fanatis, tanah subur tapi penduduknya miskin

Bentuk objektivasi dapat ditemukan sebagaimana dalam kutipan cerpen Robohnya Surau Kami dibawah ini.

“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap- Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyem-bah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama- Mu, me-muji-muji kebesaran-Mu, memprogandakan keadilan-Mu, dan lain-lain-nya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebe-lum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.” (Nafis, 2010)

Bentuk objektivasi dapat dilihat pada kutipan cerpen di atas yang menunjukkan bahwa individu Haji Saleh dalam cerita si pembual menerangkan dirinya pada Tuhan bahwa ia adalah objek atas segala kuasa-Nya. Haji Saleh mengatakan bahwa dirinya serta semua umat yang di masukkan dalam neraka adalah objek yang selalu taat atas perintah-Nya, selalu berbuat kebaikan agar mendapat belas kasih-Nya, sehingga Haji Saleh pada akhirnya menuntut balas atas kepatuhannya pada Tuhan.


  1. Internalisasi

Berger mengungkapkan yang dimaksud dengan internalisasi yakni suatu pemahaman atau penafsiran individu secara langsung atas peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna. Berger dan Luckmann (1990:87) menyatakan, dalam internalisasi, individu mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu menjadi anggotanya. Internalisasi merupakan peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif (Berger, 1994:5). Bentuk internalisasi dapat ditemukan sebagaimana dalam kutipan cerpen Robohnya Surau Kami dibawah ini.

“Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap. Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.” (Nafis, 2010)

Bentuk internalisasi dapat dilihat dari kutipan cerita pendek diatas yang menunjukkan bahwa sikap dan perilaku dari masyarakat dipengaruhi oleh karakter tiap individu-individu yang ada didalamnya. Seperti yang terepresentasikan pada kutipan bahwa yang menghuni neraka adalah kaum yang melakukan perbuatan salah atau dosa. Sehingga didalam neraka tidak ada yang namanya kebaikan, yang ada hanya hukuman. Begitulah ketika individu berkumpul dan melakukan hal-hal yang menyimpang, maka bisa menumbuhkan kumpulan masyarakat yang menyimpang pula.

BAB IV

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Cerita pendek yang berjudul Robohnya Surau Kami merupakan cerpen yang mengandung konstruksi sosial. Pelajaran mengenai eksternalisasi, dimana kaidah manusia diperoleh dari faktor luar dirinya sendiri, kendali ada pada bagaimana masyarakat sekitar membentuk sikap dan sifat dari individu, serta internalisasi yang menganggap kaidah manusia berasal dari bagaimana perilaku masyarakat diawali oleh masing-masing karakter individu yang ada didalamnya. Begitu pula pengetahuan akan objektivasi juga terepresentasikan dalam cerpen tersebut. Konstruksi sosial oleh Berger dan Lukman sangat mendukung struktur cerpen tersebut.


  1. Saran

Bagi penulis, makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Penulis menghimbau agar pembaca dapat mengkritisi kekurangan yang terdapat dalam makalah ini berdasarkan oleh acuan yang lainnya.


Daftar Acuan

Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES. 

Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1992. Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia (diterjemahkan dari buku asli The Homeless Mind: Modernization and Consciousness). Yogyakarta: Kanisius.

Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1994. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterjemahkan dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono). Jakarta: Pustaka LP3ES.

Dimyati, Mohammad. 2000. Penelitian Kualitatif: Paradigma, Epistemologi. Pendekatan, Metode, dan Terapan (Malang: IPTI dan UNM)

Manuaba, I.B. Putera. 2008. Memahami Teori Konstruksi Sosial. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Vol 21. No 3. Pg 221-230.

Navis, AA. 2010. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar